08 Januari 2009

Jendela Hati

Dari balik daun jendela mata memandang ke luar. Menyaksikan segala keindahan yang hidup. Suara anak- kecil yang memanggil ibunya. Tukang sayur yang menjajakan dagangannya. Itulah yang membuat kita bersyukur, memahami betapa besar pemberian Tuhan pada kita. Bersyukur adalah pengakuan bahwa kita kecil, tidak punya kekuatan apa-apa. Ungkapan bersyukur lebih konkrit dipraktikkan dalam bentuk nyata. Setidaknya adalah memercikkan senyum pada siapa saja.

Mata masih tak beranjak dari lalu-lalang orang. Pergi ke warung membeli sesuatu. Mereka tersenyum, pulang dengan senang karena hari itu mereka akan menjamu keluarga. Di sebelah sana tampak orang menjemur pakaian, mengibas-ngibas ke udara. Di sini masih belum ada mesin cuci. Cara nyuci praktis, mulai dari pengubekan, pembilasan hingga pengeringan. Mudah dan praktis.

Kegiatan apa paling disukai oleh kita, aku dan kamu? Aku suka tercenung sendiri. Berbicara dengan diriku sendiri. Coba memahami arti hidupku. Klise. Aku tak pernah sampai pada titik pemahaman tentang diriku. Aku cepat tercerabut dari kesadaran eksistensial sebagai yang ‘ada’ di dalam dunia ini. Keber’ada’anku menjadi nonsense. Bukan aku berpikir maka aku ada, bukan juga aku ada karena aku bekerja. Tidak semua itu.

Aku mencari sebuah titik keseimbangan (equilibrium). Kenapa terkadang aku begitu enggan beranjak dengan menyaksikan hal remeh temeh di sekelilingku. Dalam kamarku ada buku-buku, televisi, kipas angin, telpon genggam, pintu jendela, kaca, computer, gelas, kasur, bantal, lemari dan lain-lain. Apa arti mereka bagiku? Apakah hanya benda-benda? Begitulah, aku ingin meletakkan semua itu dalam titik kesadaranku.

Hari-hari berganti. Sejauh manakah ukuran sebuah capaian hidup yang aku miliki sekarang ini. Lihatlah dari jendela hati, dari sanalah pada dasarnya terkuak segala yang luar biasa. Terlalu picikkah menyaksikan kebenaran dalam diri kita? Kebenaran bahwa aku tidak jauh beda dengan benda-benda yang selama ini ada di dekatku jika aku tidak memiliki kesadaran akan diri. Apa arti aku di antara belantara kebendaan yang sama-sama ada dalam hidup ini.

Mari coba menyelami lebih jauh dari hari-hari kita? Kegiatan harian sebagai rutinitas adalah bagaimana kita menghadirkan sebuah makna dalam hidup ini. Kadang muncul sebuah prinsip untuk memberikan yang terbaik dalam hidup kita. Untuk apa? Rutinitas kerja, ke kantor, bereskan dokumen laporan dan kerjaan dalam pusat kesadaran dimaknai untuk apa? Bagaimana menghubungkan kerjaan dengan kegiatan ekonomi, kesejahteraan, posisi dalam kemasyarakatan? Di manakah episentrum kesadaran itu semua?

Tuhan, manusia dan alam. Tiga hal itu harus dipahami dalam konteks keberadaan. Pelik dan rumit. Sebab itu inti dari kehidupan. Siapa, apa dan bagaimana. Ketika Tuhan menitahkan kepada manusia menjadi khalifah (Islam), diri yang terlempar (Adam), kehidupan pun dimulai. Dari sanalah kesadaran untuk apa keberadaan di dalam dunia ini ditiupkan. Hukum alam mengenalkan akan siklus hidup. Dari alam kembali ke alam. Jika terbuat dari tanah akan kembali menjadi tanah. Begitulah semua makhluk seperti itu. Begitu juga dengan manusia. Bedanya manusia diberikan kesadaran yang tidak dimiliki makhluk lain. Maka di sinilah manusia mengemban amanat untuk memberikan kehidupan bermakna di alam ini.

Bagaimana manusia dengan kesadaran itu? Tuhan memberikan kebebasan memaknai kesadaran itu. karena itu banyak muncul kesadaran keberadaan itu. Tidak sama satu kelompok manusia dengan kelompok lain dalam memgartikan kesadaran itu. Tapi yang jelas, kesadaran itu akan membawa manusia pada sebuah kehidupan yang hakiki dan abadi.

Terlalu panjang hari ini aku berbicara. Tidak baik juga. Intinya yang ingin aku katakana adalah bahwa memilki sebuah kesadaran eksistensial adalah sebuah kemutlakan jika ingin mencapai kebahagian. Menggabungkan kesadaran Barat dan TImur bisa menjadi jalan tengah yang ditawarkan Islam. Islam adalah sumbu kesadaran keberadaan dalam dunia ini.

Tidak ada komentar: