08 Januari 2009

at Dunkin Donuts...!

Arah jarum jam makin sore. Kami sudah duduk berhadapan. Donat-donat sudah tersaji. Begitu juga gelas berisi cappuccino dingin. Rencananya kami akan habiskan waktu untuk bahas masalah skripsi. Tidak hanya itu, soal skripsi hanya menu pembuka pembicaran kami. Sebab, topik pembicaraan pun bakal mengalir entah ke mana. Seperti air. Tidak ada kesimpulan, tapi beberapa penekanan patut aku catatkan di sini.

Pertama, aku akan punya kesibukan baru untuk membantu menyelesaikan skripsinya. Membuat latar belakang hingga outline. Kedua, dia akan memperbarui hubungan dengan bibinya yang minggu terakhir mulai kurang bagus. Hanya itu.

Ketika kami duduk di pojokan, ada beberapa mata mulai memperhatikan kami. Tak kan kupedulikan itu. Waktu adalah milik kami. Kami akan berbincang soal masa depan, cita-cita dan keinginan-keinginan kami.

Dia membuka diri dengan persoalan dirinya. Adakah yang istimewa dari perbincangan ini. Bagiku sedikit istimewa. Kali ini aku mencoba menata kenangan yang pernah mampir dalam hidupku. Jujur saja kalau dulu aku pernah jatuh cinta dengannya. Ya ketika aku masih awam dan belajar untuk mencintai. Pelajaran yang ternyata tidak pernah aku dapatkan hingga tuntas. Secara teori aku membaca banyak definisi cinta. Dari yang filsafat hingga yang comberan. Entah berapa kali, teman-teman memaki-maki cinta. Kenapa cinta selalu soal seks. Makan tuh cinta.

Dan kini getar yang pernah aku milliki duduk di depanku, berbicara tentang dirinya, siapa cowoknya, seperti apa perlakuan orang-orang di sekelilingnya. Sebegitukah jalan ceritanya. Dia sudah belajar mencintai. Berhasil, sebuah cinta berlabuh di hatinya.

“Tidak ada orang yang memperhatikan aku, tidak ada yang mendorong aku untuk maju,” katanya dengan rasa gundah. Begitu juga cowoknya. Dia tidak peduli. Dia membiarkan hatinya tertutup perlahan dari cintanya. Cinta adalah masa depan, adalah yang beriring dengan cita-citanya. Dia tidak dapatkan itu. Maka jika tidak, kenapa kita masih menjadi yang mencinta.

Kubawa dia tersenyum. Kulihat dia lekat di matanya. Di sanalah semua masalah menggumpal. Pandangan yang berat, sendu dan histeria. Aku katakan, bahwa dia punya mata yang indah. Bibir yang manis. Itulah nikmat yang aku syukuri saat ini. Memandangi dengan lekat. Sepertinya semua itu akan menjadi milikku suatu saat.

Potongan donatku lebih dulu habis. Dia masih serius bercerita. Aku juga serius mendengarkan. Beberapa perempuan masuk. Mereka duduk dekat kami. Mereka bergosip soal kerjaan. Pelayan mondar-mandir. Sesekali matanya melirik. Suara kami kadang terlalu nyaring. Aku sudah terbiasa berlatih vocal ketika masuk grup teater kampus. Vokalnya harus me’ruang.’ Dan kebiasaan itu masih terus aku lakukan meskipun di kamar mandi. Beda lagi dengan dia. Suaranya kadang melengking jika ditambah volumenya bisa pecahkan kaca-kaca.

“Ssstt…jangan nyaring-nyaring,” kataku.

Dia mengangguk. Kami pun bicara dengan bisik-bisik. Tapi tetap saja suara kami yang paling nyaring. Apa yang menarik dari semua pembicaraan kami. Tentu saja suasana hatinya. Dia Bete. Tidak ada orang di sampingnya yang memberinya motivasi, yang mengapresiasi apa yang dilakukan. Hal seperti itu absen dalam kehidupannya; gimana kuliah kamu, berapa IP kamu semester ini, kok jelek sih. Cowok kamu cakep juga, tapi sayang orangnya lebai. Eh mata kamu indah, seindah bola pingpong. Bibir kamu itu loh, maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu. Huh, sudahlah, dia butuh perhatian. Apakah aku yang akan memperhatikannya mulai saat ini?

Setiap kali dia berhenti bicara maka kupandangi saja wajahnya. Dia sedikit tersipu. Sudah kukatakan bahwa aku ingin menata kenangan yang dulu pernah aku miliki bersamanya.

“Siapa cewek kakak sekarang,” tanyanya.

Sebenarnya aku ingin menjawab bahwa aku menginginkannya jadi cewekku. Tapi tidak. Aku menjawabnya dengan berputar-putar. Aku katakan bahwa cewekku ada di Bandung. Sekarang dia sedang selesaikan skripsinya. Tapi setelah itu aku katakan lagi bahwa aku tidak punya cewek, sebab semua cewekku masih imajiner. Aku katakan bahwa tidak ada deklarasi siapa cewekku sekarang ini. Aku masih menunggu waktu yang tepat. Artinya secara de jure dan de facto aku masih jomblo. Jomlo sejati.

“Pasti aku tidak termasuk kriteria kakak,” katanya. “Aku tidak suka baca buku, tidak pinter dll….”

Aku hanya tersenyum kecil. Aku tahan untuk tidak jujur saat itu. Aku tahan dulu untuk mengatakan apa adanya. Mungkin aku pengecut. Mungkin sebenarnya dia sudah pasrah mendengarkan penyataanku. Menyatakan yang sebenarnya. Karena secara tidak langsung dalam seminggu terakhir ini aku memperhatikannya. Menelpon dan mengirimkan pesan singkat.

“Tidak ada kata terlambat untuk memulai yang baik,” ungkapku sembari memandanginya.

Ah dia tersenyum kecut. Ada ketidakjujuran yang merasuk di pikirannya. Belum saatnya aku jujur. Biarlah dia bermain-main dengan imajinasinya. Menerka dan menerka. Suatu saat, dalam beberapa bulan akan ada jawaban. Entah, aku juga tidak bisa memberikan jawabannya dalam tulisan ini. Cerita masih berjalan. Aku belum menentukan akhirnya. Aku biarkan mengalir apa adanya. Jika suasana hati ingin happy, jadilah kami pasangan. Jika tidak, kami akan tetap berjalan seiring sebagai teman.

Senja sudah datang ketika kami menyeruput terakhir kali cappuccino kami. Perutnya dipegang. Katanya mag-nya kambuh. Lalu kaki kami melangkah keluar. Waktu cepat berlalu. Aku sebenarnya ingin bicara banyak hal. Tentang apa saja. Karena tiap orang punya legenda sejarahnya sendiri. Dan dia, aku ingin membuat legenda dalam hidupnya.

Dari tadi aku tidak menyebut namanya. Itu sengaja. Aku biarkan dia hadir sebagai orang ketiga dalam tulisan ini. aku bicara soal dia dari kacamata aku sendiri. Nilai subyektivitasnya sangat tinggi. Tetapi ini sah saja bukan, apalagi soal perempuan. Di manakah aku akan mendudukkannya dalam keberadaanku di dalam dunia ini.

Aku antar dia ke kosan temennya. Kami berpisah. Masih lekat senyum terakhir miliknya. Kami bersalaman seakan menjadi perpisahan panjang. Aku pulang sendiri membawa beban rindu. ‘Kematian’ kemudian menghampiriku. Saat itu, dia berjanji memberikan contoh skripsi. Sebenarnya aku sudah punya contohnya. Tapi semua itu hanya dalih untuk bertemu dengannya kembali. hidup kembali dari ‘kematian’ku. Mungkin besok. Tapi waktu begitu terasa panjang. Jika aku boleh meringkas waktu, dalam satu kedipan mata, waktu yang kunanti bisa segera datang. Tapi tidak mungkin. Maka kubiarkan waktu memenjaraku. Mengiringi malamku yang akan aku habiskan untuk menulis. Aku masih harus menyelesaikan tulisan profil untuk sebuah majalah.

Masalahku sekarang sebarapa serius keinginanku untuk menjalin hubungan dengan dia? Dalam sejarah hidupku aku tidak pernah punya pengalaman yang bagus. Hubunganku dengan perempuan hanya sebatas pertemanan biasa. Kadang aku ragu. Ragu karena insting kelelakianku. Aku masih ingin mencari yang lebih dari dia. Obsesiku selangit. Pada satu sisi dia bukan wanita yang jadi obsesiku. Tapi di sisi lain aku harus berkompromi dengan realita. Dia sudah lebih baik dari perempuan-perempuan yang aku kenal selama ini.

Peace, Love, Unity and Respect…!!!

Buldock; Kelinci Avatar

Sepasang matanya bening. Siapapun bisa melihat dirinya di matanya. Mulutnya tidak pernah berhenti bergerak, memakan apa saja yang dijulurkan ke mulutnya. Di dahinya ada semacam garis, seperti panah milik Avatar. Tangan yang membelai kepalanya membuat diam, tak berkutik, dia seperti menikmati belaian itu. Kami memberi nama kelinci itu Buldock.

Tahun baru 2009 telah datang. Malam yang penuh kembang api telah berlalu. Tapi di langit sana muncul cita-cita baru yang harus dicapai tahun ini. Atau mungkin kita sedang menghitung resolusi-resolusi yang harus dikerjakan tahun ini. Aku belum ke salon, baju sudah kusam, aku harus dapat pacar; itu ada anak ibu kosku.

Sudahlah. Penanggalan baru telah tergantung di dinding atau duduk manis di meja kerja. Ada rencana bahwa kelinci-kelinci yang kami pelihara akan dikurangi. Terlalu banyak, sedangkan kandangnya sempit. Pengurangan jumlah kelinci itu apakah dengan cara dijual atau dikasih ke tetangga. Yang jelas kelinci-kelinci akan berkurang jumlahnya. Sebab, ini berdasarkan asumsi perhewanan bahwa dalam beberapa bulan ke depan, salah satu dari kelinci akan hamil lagi. Jika sudah hamil, maka akan melahirkan. Kehamilan tahun lalu telah melahirkan 8 anak kelinci. Bagaimana jika lahir lagi. Itulah yang jadi soal dan akan kita jawab di bangku ujian. Hehe…

Ah Buldock, warnanya hitam kemerah-merahan. Kemungkinan menjualnya kecil. salah satu alasannya karena dia beda dengan lainnya. Apalagi, Buldock sendiri memiliki pembeda. Sangat sayang jika harus hilang dari hadapan kami. Wah, untuk mengurangi angka kelinci milik kami akan terjadi debat. Yang manakah layak dikorbankan? Apapun keputusan nanti, ada satu orang yang mamiliki suara penuh meskipun masih kecil. Di tangannyalah semua akan ditentukan. Dialah ponakan terakhir; Syifa. Umurnya baru 7 tahun. Kelas dua SD yang semester ini mendapat juara dua di kelasnya.

Ke manakah arah tahun 2009 ini? Mama Lauren malalui penerawangannya berbicara soal masa depan dunia entertaimen. Siapa artis, grup band bakal berjaya? Akan terjadi apa? Siapa presiden kita 2009? Banyak sekali yang diterawang. Mama, siapakah calon pendampingku? Bagaimana karirku di 2009? Ah, tak usah Mama jawab aku punya pertanyaan, bukan tidak percaya dengan ramal meramal, tetapi aku punya prinsip kalau aku harus berbuat yang terbaik untuk hari-hari ku. (sok looooo….)

Wah salah satu tontonan yang tidak dilewatkan adalah The Golden Way by Mario Teguh. “Salam Super untuk sahabat di seluruh Indonesia”.

Jika ada kesempatan, channel TV tak kan ke mana-mana. Menontonnya terasa berbeda. Panca indra tiba-tiba aktif. Mata tak berkedip menatap kotak boks warna hitam, telinga dipasang sedemikian rupa agar bisa menangkap jelas suara, kata yang keluar dari mulut sang motivator itu. Lain lagi dengan otak yang sinyalnya tiba-tiba begitu peka, memaknai tiap kata yang terangkai. Kening kadang berkerut. Apa maksudnya? Kadang ada pembenaran, tapi juga terlalu klise, hiperbolis, jauh panggang dari api. Bukan maknanya, tetapi diksi yang disampaikan menjadi kurang membumi, tidak bisa tertangkap nalar umum. Tapi begitulah, bahasa menjadi ciri kelas sosial. Mungkin, ketika ada kata yang tidak terpahami, aku masuk dalam kelas ‘kambing congek.’

Biru Langit

Matanya tidak berkedip saat warna kemerahan mulai menyelubungi sekelilingnya. Seperti berbias dari tempatnya yang ingin menutup hari di tempatnya berdiri. Mungkin ia akan muncul di tempat lain dengan warna sama. Di belahan kehidupan yang di sana. Selalu diawali dan diakhiri dengan hal yang sama. Tapi sekarang ia disebutnya dengan senja.

Tak banyak yang memperhatikan. Tidak banyak yang merasa nyaman dengan keadaan ini. segelintir saja. Hanya orang-orang yang sepi, sendiri dan suka melamun. Enggak juga, senja adalah milik mereka yang suka keindahan. Seniman melukisnya di atas kanvas, fotografer mengabadikan dari bidikan lensanya, penyair dalam puisinya, penulis dalam kata-katanya.

Nikmati saja. Jangan diungkapkan jika tidak bisa. Karena senja untuk dinikmati. Menitinya dalam hitungan waktu yang berdenyut per detik. Maka begitu bersahajanya hidup dalam senja. Apa yang ingin dilakukan senja. Tidak ada. Hentikan semua kerjaan itu. Rehat dan jeda dari rutinitas yang menjemukan adalah titik berangkat menikmati senja.

Dalam hati ada decak kagum memandangi sinarnya. Ketika memulai hari sinarnya begitu hangat, tapi setelah itu sinarnya makin panas. Tapi ketika perjalanannya melintasi waktu yang panjang, sinarnya berubah. Tidak segar lagi tapi memiliki keindahan yang teramat dalam untuk dirasakan. Adakah ilmu alam yang bisa menjelaskan semua ini? Apakah karena bumi ini bulat? Jika itu jawabannya kenapa terjadi perbedaan suasana?

Jendela Hati

Dari balik daun jendela mata memandang ke luar. Menyaksikan segala keindahan yang hidup. Suara anak- kecil yang memanggil ibunya. Tukang sayur yang menjajakan dagangannya. Itulah yang membuat kita bersyukur, memahami betapa besar pemberian Tuhan pada kita. Bersyukur adalah pengakuan bahwa kita kecil, tidak punya kekuatan apa-apa. Ungkapan bersyukur lebih konkrit dipraktikkan dalam bentuk nyata. Setidaknya adalah memercikkan senyum pada siapa saja.

Mata masih tak beranjak dari lalu-lalang orang. Pergi ke warung membeli sesuatu. Mereka tersenyum, pulang dengan senang karena hari itu mereka akan menjamu keluarga. Di sebelah sana tampak orang menjemur pakaian, mengibas-ngibas ke udara. Di sini masih belum ada mesin cuci. Cara nyuci praktis, mulai dari pengubekan, pembilasan hingga pengeringan. Mudah dan praktis.

Kegiatan apa paling disukai oleh kita, aku dan kamu? Aku suka tercenung sendiri. Berbicara dengan diriku sendiri. Coba memahami arti hidupku. Klise. Aku tak pernah sampai pada titik pemahaman tentang diriku. Aku cepat tercerabut dari kesadaran eksistensial sebagai yang ‘ada’ di dalam dunia ini. Keber’ada’anku menjadi nonsense. Bukan aku berpikir maka aku ada, bukan juga aku ada karena aku bekerja. Tidak semua itu.

Aku mencari sebuah titik keseimbangan (equilibrium). Kenapa terkadang aku begitu enggan beranjak dengan menyaksikan hal remeh temeh di sekelilingku. Dalam kamarku ada buku-buku, televisi, kipas angin, telpon genggam, pintu jendela, kaca, computer, gelas, kasur, bantal, lemari dan lain-lain. Apa arti mereka bagiku? Apakah hanya benda-benda? Begitulah, aku ingin meletakkan semua itu dalam titik kesadaranku.

Hari-hari berganti. Sejauh manakah ukuran sebuah capaian hidup yang aku miliki sekarang ini. Lihatlah dari jendela hati, dari sanalah pada dasarnya terkuak segala yang luar biasa. Terlalu picikkah menyaksikan kebenaran dalam diri kita? Kebenaran bahwa aku tidak jauh beda dengan benda-benda yang selama ini ada di dekatku jika aku tidak memiliki kesadaran akan diri. Apa arti aku di antara belantara kebendaan yang sama-sama ada dalam hidup ini.

Mari coba menyelami lebih jauh dari hari-hari kita? Kegiatan harian sebagai rutinitas adalah bagaimana kita menghadirkan sebuah makna dalam hidup ini. Kadang muncul sebuah prinsip untuk memberikan yang terbaik dalam hidup kita. Untuk apa? Rutinitas kerja, ke kantor, bereskan dokumen laporan dan kerjaan dalam pusat kesadaran dimaknai untuk apa? Bagaimana menghubungkan kerjaan dengan kegiatan ekonomi, kesejahteraan, posisi dalam kemasyarakatan? Di manakah episentrum kesadaran itu semua?

Tuhan, manusia dan alam. Tiga hal itu harus dipahami dalam konteks keberadaan. Pelik dan rumit. Sebab itu inti dari kehidupan. Siapa, apa dan bagaimana. Ketika Tuhan menitahkan kepada manusia menjadi khalifah (Islam), diri yang terlempar (Adam), kehidupan pun dimulai. Dari sanalah kesadaran untuk apa keberadaan di dalam dunia ini ditiupkan. Hukum alam mengenalkan akan siklus hidup. Dari alam kembali ke alam. Jika terbuat dari tanah akan kembali menjadi tanah. Begitulah semua makhluk seperti itu. Begitu juga dengan manusia. Bedanya manusia diberikan kesadaran yang tidak dimiliki makhluk lain. Maka di sinilah manusia mengemban amanat untuk memberikan kehidupan bermakna di alam ini.

Bagaimana manusia dengan kesadaran itu? Tuhan memberikan kebebasan memaknai kesadaran itu. karena itu banyak muncul kesadaran keberadaan itu. Tidak sama satu kelompok manusia dengan kelompok lain dalam memgartikan kesadaran itu. Tapi yang jelas, kesadaran itu akan membawa manusia pada sebuah kehidupan yang hakiki dan abadi.

Terlalu panjang hari ini aku berbicara. Tidak baik juga. Intinya yang ingin aku katakana adalah bahwa memilki sebuah kesadaran eksistensial adalah sebuah kemutlakan jika ingin mencapai kebahagian. Menggabungkan kesadaran Barat dan TImur bisa menjadi jalan tengah yang ditawarkan Islam. Islam adalah sumbu kesadaran keberadaan dalam dunia ini.

Selamat Pagi..!

Teman, memulai hari dengan bediri di depan teras. Dan hamparan langit yang keputihan membentang. Ayam jantan berkokok. Seorang laki-laki menyapu halaman rumahnya. Sapu lidinya yang mulai usang terdengar menyakitkan di daun telinga. Tumben, belum tampak matahari. Cahayanya yang kuning tidak terlukis di dinding kamar. Setiap membuka mata, di dinding kamar, berkas yang menguning bergerak-gerak.

Sebuah pagi, bagaimana kamu menikmatinya. Apa dengan hanya secangkir kopi? Duduk di beranda, menunggu pengantar kabar pgi datang, melihat tukang kue yang teriak-teriak, panggilan tukang roti yang membosankan karena telah deprogram. Sulit dilewatkan sebuah pagi itu.

Mari melihat rumput, daun, tanah, tampak semua basah. Mereka dipeluk embun yang datang bersama angin malam. Tadi subuh, suara gemerincing air hujan di genteng. Tidak banyak hujannya. Paginya tidak ada genangan air. Semua terserap oleh tanah. Di tanahlah berbagai partikel kumpul kemudian pisah lagi. Mereka punya kehidupan masing-masing sesuai dengan keahliannya. Semua zat menyatu. Tahu kan jika dalam perut bumi ada nilai kekayaan yang tidak kehitung dengan kalkulator. Iyalah, di sana letak kemahakuasaan pemilikalam ini.

Di desa masih terlihat sekumpulan burung yang terbang dari dahan ke dahan. Suaranya bersahutan. Bernyanyi dengan simfoni alam. Membuka daun jendela, membiarkan angin masuk bersama sedu-sedu okestra bunyi-bunyian. Tidak ada yang mengerti semua itu, semua hanya bisa dirasakan.