27 November 2008

Jangan Lupa Pake Celana Dalem

Malem itu gue ditelpon sama Teh Rina. Dia ngajakin ke M Point di depan Blok M Plaza. Katanya band temenya lagi main. Akhirnya gue bilang iya. Gak kepikiran aja kalo malem itu gue bakal ke Blok M hanya untuk seneng-seneng. Parahnya lagi gue lagi bokek. Di dompet tersisa selembar 50-an. Cucian deh gue!

Tapi untung gak bisa ditolak, maka dengan cepat gue ganti kostum yang keren dikit. Sepatu juga pinjem ke temen dulu biar keliatan keren. Parfum diseprotin dikit ke leher. Lalu aku raih kontak motor dan langsung tancap. Tapi persoalannya gue gak tahu di mana M Point itu. Gawat juga nih, gue pikir. Tapi tenang aja, hatiku bilang, tar tanya aja kalo udah sampe Blok M Plaza. Akhirnya dengan motor butut gue geber gas.

Gue inget, waktu itu Teh Rina ngajakin karaoke bareng. Biasalah untuk ngilangin stress di kantor. Tapi rencana itu gak pernah kesampean. Tapi Teh Rina sih udah sering bareng temen-temen karaokean. Mungkin dia pingin ngajakin gue aja masuk ke lubang neraka bareng. Atau sengaja gue biar sedikit selamat dari intrograsi malaikat mungkar . soalnya kayak gini juga, gue kan masih punya darah ustads. Hehehe…

Akhirnya sampe juga gue di Blok M Plaza. Gue clingak-clinguk. Mana nih M Point. Liat kanan kiri tapi gak ada M Point. Gimana lagi, gue harus sms teteh dulu. Sumpret, katanya masih di Mampang. Wah gimana. Gue lagi disuruh nanya lagi. Tapi insting jurnalis gue mulai hidup. Maka gue ambil puter Blok M Plaza. Kiraanku M Point itu ada di seberang. Tapi dasar peragu, aku nanya juga ke satpam yang lagi duduk sambil ngisep rokoknya.

‘pak, M Point sebelah mana ya?’

‘deket blok m plaza,’ dengan wajah ketus di liat gue. Pak satpam, makasih ya, kata gue sambil geber gas lagi.

Lalu gue muterin terminal blok m. gue inget kalo deket ngetem metro mini ada kafe. Tapi itu bukan di depan blokm plaza. Tapi gak apa-apa aku yakin posisi deket sana.gini deh kalo gak tahu Jakarta. Padahal apa kurang gue pengetahuan dan pengalaman sebagai jurnalis. Tapi kalo udah urusan yang kayak gini aku nyerah.

Gue liatin jejeran ruko sebelah kiri. Ada hotel laras, trus ada karaoke. Nah ini dia, ada tulisannya M Point. Wah ketemu. Tapi nih markir motornya. Gue gak liat ada motor di sana. Mungkin orang yang datang ke sini orang gedean semua, bukan kayak gue. Tapi gimana pun gue harus ke sana. Jalan dikit, aku liat ada tempat parker kea rah basement. Gak mungkin motor. Gue udah pingin nyusup ke bawah. Tapi hati kecil ngelarang. Gue pun muter lagi terminal. Cape deeh muter-muter.

Tiba-tiba paha bergetar. Bukan nada getar hp-ku. Wah teteh telpon. ‘Man kamu dimana?’ ‘Tar lagi teh, aku muter terminal dulu nih, tunggu di depan ya’ ucap gue sambil naruh kembali hp ke kantong celana. Wah macet lagi. Akhirnya gue sampe juga, parker motor ternyata ada di sampingnya. Huh…

‘hei pakabar semua?’ sapa gue sama mereka. Ada suami teteh dan okta. Semua tersenyum pahit pada gue. Lalu kami ngeloyor ke lift. ‘lantai 5.’ Kami naik, ada dua cewek. Sepertinya mereka pelayan di M Point. Mungil dan manis. Emang gula.

Di lantai 5 saura music lumayan keras bikin telinga pengang. Wei kami disalamin salam orang botak. Manajernya kali nih. Salamannya akrab gitu. Sementara gue lihat vokalis band nyanyiin dengan semangat. Wah gua gak tahu lagu apa yang dinyanyiin, yang jelas barat. Tapi, yang gue kagumen vokalis ceweknya yang seksi dan suaranya boo enak tenan untuk dilahap. Untung gak di restoran, gue bisa mesen beberapa kali. Selama sejam lebih mereka nyanyi trus tanpa henti. Selesai nyanyi lagi. Boleh rekues. Ato dengerin aja apa yang mereka nyanyiin. Yang jelas kuping bakal pengang. Dan lagi, bulu kuduk bergetar ketika musiknya ngebeat.

Di manapun karaokean punya cap negatip. Karena di balik semua itu, ada bisnis lain yang membuat air liur berceceran di lantai. Biasa, soal esek-esek. Gue gak percaya, tapi waktu gue ke wc ada emak-emak menor gemuk telpon. ‘Yanti dan Nita udah diboking.’ Loh apaan tuh. Pas selesai ngaca, gue sih mesem-mesem sama tuh emak-emak.

‘Dik mo pake gak.’ Wah pake apa kata hati gue, pake celana dalem atau bedak BB.

‘udah pake,’ jawab gue sambil ngeloyor sambil ngerdepin mata yang kanan. Waktu itu gue kelilipan dikit ngeliatnya warna sedonya yang norak itu. Baru mo keluar, tiba-tiba ada cewek masuk. Gue kasih senyum, eh malah manyun. Apa wajah gue asem.

Sejaman nyanyi mereka istirahat. Mereka datengin kita. Salaman ngenalin diri. Yang lain namanya gue gak inget. Yang kuinget cuma Ina. Itupun setelah nanya lagi di dekat kupingnya, mau gue gigit sekalian kayak mike Tyson gigitin telinga Holipil (sori ga tau ejaan bahasa inggrisnya). ‘Ina.’ Deket kuping gue.

Gue gak sampe selesai. Teh Rina sama yang lain mo pada cabut. Katanya harus ke PJI. Wah gue inget paling IHP telpon. Soalnya, minggu ini kan lagi sibuk siapin untuk Rapimnas sama pelatihan. Ah, pingin ikut ke Bandung tar. Minggu ini paling gue juga ketemu sama IHP. Tapi denger-denger kelakuannya gak berubah, manyun dan masem. Ya gimana gak masem dan manyun urusan MP masih gak jelas. Kalo gak soal prestsise udah ditutup kali nih MP. Secara bisnis gak ngasilin malah bangkrutin.

Sang Pencari; Sebuah Catatan Harian 3


Kalibata/2/1/08

Hidup terasa makin sulit. Seperti langkah tua negri ini. Diperparah lagi dengan bencana yang seakan-akan memberatkan langkah negeri ini menatap masa depan yang cerah. Tengok saja, Januari menjadu bulan bencana. Alam seakan enggan berbagi kasih dengan negeri ini. Negeri yang berkeinginan maju. Alam menjadi tidak bersahabat lagi; banjir, tanah longsor, gempa bumi, angin puting beliung dan sederet bencana lainnya tidak pernah berhenti menghantui negeri ini.

Tentu saja di tengah ketidakpastian tersebut harus ada rasa optimisme. Biarpun badai menerjang dan meluluhlantahkan ‘kapal’ negeri ini, etos perubahan tidak boleh mati. Perubahan merupakan sunnatullah. Dan itu yang harus terpatri kuat dalam hati kita.

Karena itu, memulai perubahan harus dari Aku. Aku dalam arti diri yang menyadari keberadaanya, tahu posisi dan fungsinya. Aku ‘ada’ maka hidup ini akan terus berlanjut. Seperti kata Chairul Anwar, Aku ingin hidup seribu tahun lagi. Goresan kata yang menyiratkan optimisme tiada henti. Karena itu, apapun yang terjadi di awal tahun ini, itu menjadi awal langkah yang akan menentukan di masa yang akan datang. Maka langkah kaki ini harus pasti menapaki jalan perubahan meskipun onak dan duri bertebaran di jalan ini.

Begitulah semestinya kita ada di dunia. Memberikan yang terbaik dari apa yang kita miliki. Bergerak menjadi kunci setiap perubahan. Jika ada yang menolak perubahan berarti ia menghadapi kematian. Dan Aku tidak ingin. Aku ingin terus bergerak untuk mencapai titik terdalam dari kesadaran diriku ini. Mencari hakikat dari yang ada saat ini. Mungkin terlalu filosofis bagi yang membaca.
25/1/08

Sehari bersama Bu Mien Dahlan. Ia bercerita banyak kehidupan almarhum suaminya. Mengesankan. Seorang yang tidak pernah berhenti berjuang. Berjuanag untuk anak-anak bangsa ini. Begitulah, Pa Dahlan begitu sangat cintanya kepada HMI.

Dua hari ini saya sendiri di PJI. Eno pulang, ortunya kecelakaan. Tak ada siapa-siapa. Hanya semilir angin yang masuk dari celah-celah kaca.

26/1/08

Selalu sendiri. Termangu depan komputer. Ucu Agustin, nama yang mulai terbang ke angkasa dengan fantasi imajinernya. Cerpennya selalu absurd tetapi berjejak makna yang dalam. Cermin dan pengembaraan adalah proses menemukan diri yang sebenarnya. Kita selalu menghadapi cermin, tetapi pernahkah kita bertanya, apa benar aku yang ada dalam cermin? Apakah itu memang aku? Maka kembara adalah jalan untuk menemukan itu. Upaya pencarian itu, bagi setiap orang pasti tidak akan sama.

ah bosan juga di rumah ini. Sendiri tanpa siapa-siapa. Membaca Isaiah Berlin cukup rumit. Malah aku terkantuk-kantuk. Tapi membaca Dahlan Ranuwihardjo begitu menggugah. Nasionalismenya tinggi. Viva Yoga menyebutnya sebagai muslim nasionalis.

28/1/08

Hari ini waktu seakan berhenti. Tertunduk hikmad mengantar kepergian Soeharto. Aku melototi televisi. Di jalanan orang berjejal melambaikan tangan. Lalu terdengar tembakan salvo dari Astana Giribangun tanda tubuhnya akan dimasukkan ke liang lahat. Tetapi di pojok-pojok kehidmatan ada yang bergumam, sayang Pak Harta meninggalkan banyak luka dan derita.

Nonton the cinderella man begitu menggugah. Ia lakukan pekerjaan itu bukan untuk sekedar materi dan popularitas. Tetapi cinta pada anak dan istri serta semua masyarakat. Benar kata Paulo Coelho, ketika kamu mengantungkan impianmu lalu kamu berlalri dan terbang mengejarnya, maka semua orang akan mendoakanmu. Tentu, cita-cita itu atas nama cinta.

2/2/08

Ya, PJI, Ismed Hasan Putro, Fikar W Eda, Arief Ardiasyah, Tatang B Tamam, Widayat, Hatim, Muchlison, Firda dan Susan adalah entitas yang kini menemani obsesiku. Entah di mana aku harus meletakkan aktor tersebut dalam proses kreatifku. Mereka punya karakter masing-masing yang unik. Cukup aku buat catatan dulu sebelum aku tulis sebuah garis besar cerita ini.

7/2/08

Gong xi fa chai! Hari ini imlek. Di mana-mana warna menyala merah terang. Imlek, tahun baru dalam kalender Cina. Imleh dirayakan melampaui kepercayaan tetapi telah menjadi budaya yang terus hidup di masyarakat Cina. Seluruh agama merayakan imlek ini. Kita berharap bahwa semuanya menjadi lebih baik di masa mendatang.

Tetapi katanya, ada ironi dalam imlek saat ini. Imlek yang dimaknai sebagai rasa berbagi dengan yang lain, malah dihamburkan dalam bentuk hura-hura. Benarkah!

Rabu kemarin ikut diskusi buku terbitan Mizan. Ketemu Mas Baiquni, salah satu redaktur kreatif di Mizan. Entah, tetapi ada pembicaraan lebih spesifik untuk melanjutkan pertemuan Bandung 2 tahun lalu. Mungkin menjadi berkah imlek ha ha ha...

Ke depan, makin menyiratkan ketidakpastian. Ya, aku harus sudah bisa mencitrakan diriku ini siapa.

13/2/2008

Hidup pun mengalir apa adanya. Entah dan saya selalu katakan entah.

20/5/08

Hari kebangkitan nasional. Itulah hari yang kita peringati hari ini. Bangkit untuk apa? Selama ini disadari ternyata kita masih dalam keterpurukan. Padahal 100 tahun sudah kebangkitan jilid pertama itu disuarakan oleh budi utomo.

Namun kondisi kita saat ini aku kira dilematis. Kebangkitan diserteai dengan ketepurukan. Kebangkitan kental dengan kesan formalistik. Lihat saja, pemimpin kita lebih senang menggelar pesta di Senayan, kirap dan parade. Tapi lihat juga, rakyat mulai menjerit karena harga kebutuhan pokok makin tak terbeli. Lihat saja, bangsa ini menjadi bangsa anomali, tak jelas, dan makin kehilangan visinya.

Memaknai kebangkitan bagiku adalah bagaimana tenaga dan pikiran kita tercurah untuk membangun bangsa ini. Itu bisa dimulai dari hal terkecil. Hidup dengan cara sederhana dalam keluarga. Apa adanya. Kemudian diikuti dengan membantu sesama. Dalam hal ini, kita harus sudah mulai bahu membahu keluar bersama-sama dari keterpurukan ekonomi saat ini. Buang frustasi, kecil hati dengan kondisi, dan kita harus mulai bagkit bersama-sama. Jangan dengarkan hiruk-pikuk omongan elite yang lebih banyak bicara.

23/5/08

BBM naik 30 persen. Barang-barang merangkak naik. Itu pun sudah terasa sebulan ini. Kesulitan ekonomi paling terasan oleh masyarakat kelas bawah. Kelas menengah pun saat ini rentan menjadi miskin. Inflasi bisa mencapai 12 persen. Dan ini diluar perkiraan BI. Jadi apa yang mesti dilakukan masyarakat kini.

UUD mengamanatkan Negara untuk melindungi warga negaranya. Tetapi kini, yang dirasakan, malah Negara yang menginjak-injak rakyat dengan melakukan pembiaran terhadap bentuk penjajahan baru dalam hal ekosob. Dengan itu bisa dikatakan, Negara gagal menjalankan amanat konstitusi. Negara dalam hal ini pemerintah SBY-JK dimaklumi jika dimakzulkan. Seperti yang diusulkan PKB.

Sebenarnya aku ingin banyak menulis. Tetapi itu lalu menjadi hilang begitu. Kering ide dan kata-kata menjadi langka untuk dituliskan. Kata tidak magis lagi. Kehilangan ruhnya yang bisa menggetarkan hati yang membaca. Aku teringan buku Ketika Cinta Bertasbis, aku tergetar dan menangis. Entah, aku kadang mudah terhanyut dengan bacaanku. Pernah membaca Laskar Pelangi. Aku pun dibuat melelehkan air mata.


24/5/08

Sepertinya aku harus mulai meninggalkan cara berpikir generalis beralih ke spesialis. Makin spesialis, semakin banyak yang tidak aku ketahui. Dan perlu diketahui, ini pikiranku bahwa di balik semua ilmu pengetahuan atau soal kehidupan ini sejatinya memiliki keterkaitan. Atau mengutip Capra ada hidden connection. Maka dengan semakin spesialis dalam satu ilmu pengetahuan, maka makin tahu apa yang hakikat dan makna kehidupan ini.

Perbincangan dengan Redpel Buletin Majemuk, Anam B menyiratkan elemen-elemen pengetahuan yang berjalin kelindan dan saling merekatkan. Pada titik tertentu ada kebersenyawaan ide yang bisa disemai. Aku kira itulah yang menyebabkan perbincanganku dengannya makin intens hingga memasuki hal yang pribadi dan primitive. Apalagi kalau bukan perempuan yang bakal didaulat menjadi teman hidupnya. Dalam memilih sesuatu membutuhkan pertimbangan-pertimbangan…haha aku selalu menjadi penimbang yang dipercaya.

malam tadi, harga BBM resmi naik. Premium yang sebelumnya 4500 kini menjadi 6000. ya, aku memang harus merogoh kantong untuk mengongkosi aktifitasku. Aku harus mulai belajar menimbang apapun untuk membiayai hidupku. Yang paling aku prihatinkan adalah mereka yang benar-benar didera ketidakbercukupan. Saudaraku di kampong minggu lalu sudah mengeluh, katanya harga kebutuhan sudah naik semua. Kejahatan merajarela. Padahal bulan depan sudah memasuki masa tanam tembakau, hal yang memang dituggu-tunggu oleh petani tembakau di Madura. Apa daya, kini hampir semua tidak terbeli.

Pemerintah menyiapkan jaring pengaman social yang dibagi dalam tiga kelompok. Untuk jangka pendek adalah dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) plus bantuan beras dan lainnya. Jangka menengah, program padat karya juga telah disiapkan hingga penyaluran kredut usaha rakyat. Aku harap itu semua tidak ada kendala. Sebab, untuk BLT misalnya, data penerima masih menggunakan data lama, padahal data itu sudah menimbulkan masalah. Dan di lapangan, rakyat yang tergolong miskin banyak yang menerima BLT itu.
Jumat Pagi 7 Nopember 2008

Memulai dan melaksanakan rencana adalah sesuatu yang sulit. Banyak hambatan yang menghalanginya. Tidak saja muncul dari luar lingkungan kita, malah hambatan itu muncul dari dalam diri sendiri. Dan inilah ‘jihad’ terberat.

Ada sebuah pepatah Arab menyatakan bahwa permulaan yang baik berarti separuh perjalanan telah dilampaui. Dalam pepatah ini kita diminta untuk menyiapkan segala rancana dengan matang. Tidak sekedar semangat di awal, tetapi yang lebih penting kontinuitas dari rencana yang telah dimulai. Baru setelah itu menjaga konsistensi dengan rencana dari cita-cita kita. Tetapi sekali lagi selalu muncul kendala dan hambatan. Perjuangan itulah terus menerus harus dilakukan.

Apa yang tidak dimimpikan dan diinginkan oleh semua orang. Mereka ingin kaya, ingin punya jabatan, ingin keluarga yang bahagia dll. Tetapi tidak semuanya bisa mencapainya. Selain faktor proporsi yang telah ditentukan, hal lain karena mereka tidak melakukan apa yang menjadi mimpi-mimpinya. Bisa dikatakan bahwa mereka tidak bisa mendefenisikan apa yang menjadi cita-cita mereka.

Bagaimana kita mendefenisikan cita-cita itu? Gambaran singkatnya, kita harus punya tahapan-tahapan rencana itu dan mencoba konsisten dengan pilihannya. Mendefenisikan sekaligus mampu membayangkannya dalam setiap langkah keseharian. Sleep with your dream kata seorang motivator.

Bagaimana agar semua tidak bulshit. Caranya lakukan rencana Anda, jangan banyak rencana. Jika punya satu rencana maka lakukan rencana itu lalu konsisten. Itulah titik terlemah yang aku miliki sekarang ini. Tapi sungguh aku termasuk orang yang merugi. Aku tahu tapi aku abai dengan ketahuanku itu. Dengan bercerita dalam tulisan ini sebenarnya aku tahu di mana dan seperti apa posisiku saat ini. Dan aku pun tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Tapi ternyata aku lebih asyik dengan buaian dari mimpi-mimpi. Maka terlaknatlah.

Sudah berapa tahun sadari itu, hingga saat ini belum ada perubahan yang revolusioner. Kadang aku malu pada alam ini. Terlalu banyak kata dan janji kuumbar. Namun kenyataannya tidak ada yang terealisasi. Aku selalu menunggu keajaiban yang datang dari Tuhan. Katanya dengan banyak beribadah maka Tuhan akan memudahkan semua urusan kita. Di satu sisi itu aku harus yakini, namun di sisi lain aku tidak sepenuhnya yakin. Jelas-jelas Tuhan lebih mencintai hambanya yang berusaha jalani hidup ini ketimbang hanya beribadah saja. Banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan untuk mengembangakan etos kerja. Dan hanya orang-orang bodoh saja yang tidak memahaminya.

Ketika di pesantren, seorang ustad dengan menyitir sebuah hadist, meskipun tidak soheh, namun memiliki nilai semangat dan etos kerja yang tinggi. Harrik yadaka ta’kul, yakinlah bahwa ketika kamu berusaha Tuhan akan memberimu jalan untuk mendapatkan rizqi. Dalam hal ini bagaimana Agama mengajarkan kepada kita untuk tidak berpangku tangan dengan keadaan ekonomi sekarang ini. Berusaha dan bekerjalah apapun itu.

Oke, sampai di sini dulu. Aku hanya mencoba untuk melakukan apa yang menjadi rencana dan mimpi-mimpiku. Menjadi penulis.

Sore, Saat Senja Datang

Masih aku pikirkan soal Bandung, kemungkinan bertemu dengan sebuah nama Isda Dafitri. Aku katakan ini karena hingga detik ini aku belum pernah ketemu dalam artian fisik. Hari Minggu baru aku rencanakan. Aku hanya ketemu dalam bentuk bayangan karena baru melihatnya di sebuah gambar yang statis. Tapi memang, sejak kali pertama melihatnya ada rasa takut menelusup pelan di hatiku. Bagaimana jika dia memang milikku yang diberikan Tuhan untukku.

Beberapa bulan aku pun larut dalam impian. Benarkan dia akan menjadi milikku. Puasa itu aku dikenalkan oleh waktu. Sebuah nomer telepon ada di tanganku. Lalu aku coba mengirim pesan yang berbalas. Begitu mudahnya. Jarak yang memisahkan terasa begitu dekat. Bandung-Jakarta mungkin sekarang sudah bisa ditempuh hanya dalam hitungan jam. Tapi aku bicara dalam sebuah labirin waktu yang meringkas semuanya dalam hitungan detik. Sejak itulah, namanya menjadi sebaris doa yang selalu aku lantunkan. Tapi tahukah kamu, bahwa masih ada keraguan berikut ketakutan jika ini semua hanya oase, hanya bayangan dari sebuah mimpi.

Aku sudah bersiap kecewa. Selalu aku katakan dalam dialog imajinerku bahwa aku akan terima apapun yang akan terjadi nanti.

“Sebenarnya kamu adalah dermaga pertama tempat aku lemparkan jangkar dan berlabuh. Namun, jika dermagamu belum bisa menerima kedatanganku, mungkin, aku segera mengangkat jangkar kembali dan segera melanjutkan perjalananku. Terlalu lelah dan panjang perjalanan ini, aku harus mencari dermaga lain. Doakan bakal ada dermaga yang menerima jangkar cintaku.”

Ai, begitulah dia memanggilku. Panggilan yang baru dari teman-temanku. Ai, sebenarnya adalah akronim dari Ainur dan Isda menjadi AI. Sebuah paduan vocal yang membentuk makna sendiri. Ai dalam bahasa Inggris begitu punya titik sentral dalam perjalanan sejarah filsafat. Aku sebagai pentahbisan eksistensi diri. Inilah aliran eksistensialisme yang digagas Sarte. Yupps...aku tidak ingin terjebak dalam imajinasi yang kosong. Biarkan waktu akan menjawabnya.

Apa sih yang menjadi ketakutanku? Soal sejarah karena selama ini aku belum terbukti bisa menaklukkan cewek. Bukan tidak bisa, aku tidak berani dan selalu mundur sebelum berperang. Aku tidak punya jiwa kompetisi dalam memperebutkan cinta. Hubungan dengan Isda punya sedikit kendala. Satu jarak, kedua pengalaman traumatis yang aku harus hati-hati, dan ketiga keluarga yang punya pengaruh kuat. Pasalnya dia adalah anak terakhir yang dalam kultur kita masih diayomi betul. Apalagi dia perempuan yang dalam tradisi Maduran dan mungkin Jawa akan menjadi penjaga kedua orang tua.

Oke, itu semua hanya ketakutan-ketakutan betapa aku ingin menerjangnya. Bahwa aku bisa meyakinkan alam ini bahwa aku bisa memilikinya. Aku ingin katakana bahwa pilihanku tidak salah. Karena itu jika Isda bisa menerimaku berikut keluarganya, maka pantas kiranya aku menancapkan sebuah janji bahwa visiku akan berubah. Isda adalah visiku dan masa depanku, maka seluruh energy akan habiskan untuk mengejar visiku itu. Tentu saja, Tuhan adalah kunci segala kunci ini. Visiku adalah visi kebahagian dan kedamaian (as-salam) di dunia dan di akhirat yang juga menjadi visi Tuhan dengan penciptaan alam raya ini.

Sepotong Cinta dari Payukumbuh

Ini adalah cerita cinta temanku, kakak angkatku dengan temanku di HMI. Tidak usah aku sebut namanya. Inisialnya Y. Perempuan Payukumbuh, Padang. Sementara yang cowok inisialnya E. Yang E sedang mencari calon pendamping, begitu juga Y. Akhirnya mereka dipertemukan dalam sebuah alat teknologi yang bernama HP. Hanya selembar foto yang mereka tahu. Tapi akhirnya mereka pun bertemu. E ke Padang bertemu Y.

8 Nopember 2008

Gagal bertemu dengan Isda bukan berarti tidak punya kesempatan lagi bukan. Ya kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Aku memahami saja dan telah aku rasakan ketika dia tiba-tiba katakan sedang sakit. Di sanalah terlihat jika dia tidak ingin bertemu denganku. Puncaknya adalah tadi siang, ketika sebaris SMS tiba-tiba memintaku untuk tidak ke Bandung. Kenapa? Katanya belum tepat waktunya. Ah, biarlah, mungkin memang belum tepat. Kapan? Aku kira itu akan datang, entah kapan.

Tapi Sabtu ini memang aneh. Arif tiba-tiba tidak pernah menjawab sms-ku. Seberapa sibuk dia di MP, tapi aku hanya berpikir mungkin dia sibuk sekali sehingga tidak sempat menjawab sms. Atau mungkin dia memang tidak punya pulsa. Dan mungkin, aku adalah elemen yang tidak penting. Tidak masalah. Apalagi kemudian aku menerima sms dari Nuzul soal MP di Bandung. Bagiku itu pertanda bahwa ada insiden tidak mengenakkan. MP, seperti menyimpan dinamit yang sewaktu-waktu bisa meledak.

MP dalam perjalanannya menjadi rumit. Aku mengira memang akan seperti ini jadinya. Ruwet. Banyak konflik timbul dari hal-hal sepele. Terutama bagaimana seorang Ismed seenaknya sebagai pemilik majalah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang aku piker kurang tepat.

Dini Hari, Senin 10 Nopember 2008

Aku berkeyakinan bahwa jalan sukses ada di depan mata. Namun apakah cukup modal keyakinan itu. Ternyata tidak. Yakin saja belum memadai untuk mengantarkanku mencapai apa yang menjadi keinginanku saat ini. Aku masih harus tekun belajar, menambah wawasan pengetahuan, banyak menelorkan ide-ide dan memperluas jaringan. Aku sadari itu elemen penting menapaki tangga sukses ini. Aku telah berumur 29 tahun. Dengan umur seperti sekarang harusnya aku sudah mencapai pintu sukses babak pertama. Atau setidaknya secara ekonomi sudah matang. Maka memasuki umur 30-an pematangan itu terus ditingkatkan lagi hingga umur 40-an sebagai titik akhir apa yang menjadi pilihan hidupku.

Terkadang aku berpikir bahwa banyak seusiaku telah mencapai sukses. Kompas Minggu menurunkan seorang perempuan pengajar piano yang terbilang telah mapan. Ada juga Anne Ahira, perempuan internet marketer yang juga sukses mendulang duit, dan banyak lagi anak-anak muda yang ajeg, mapan dengan profesinya. Seperti apakah aku?

Maka menapaki masa silamku, jejak rekam perjalananku, tampak bahwa aku bukan orang yang sensasional. Secara akademis tidak terlalu mencolok apalagi secara ekonomi dan status social. Ketika SD aku juara kelas bukan karena otakku encer tetapi karena selalu tekun belajar. Ketika teman-teman main, aku selalu sempatkan untuk membuka pelajaran dan mengulangnya. Begitu juga naik ke MTs. Juara kelas yang aku karena usaha yang keras. Sekali aku mengurangi waktu belajar, maka teman-temanku akan mengejarku. Pindah ke pesantren aku pun harus terus berjuang keras menjadi yang terbaik di antara teman-temanku. Siang malam belajar hanya untuk mengejar kenaikan kelas. Di pesantren aku masih bisa masuk 20 besar dari seratusan santri. Tapi lagi-lagi aku katakan, bahwa bukan anak yang menonjol.

Menonjol bisa saja karena bukan prestasi akademis. Bisa karena nilai-nilai yang lain. Mungkin karena kaya, kreatif, cerdas, dan lainnya. Secara akademis kurang bagus, tapi dia punya prestasi di bidang olahraga misalnya. Tapi aku tidak di keduanya.

Memasuki jenjang perguruan tinggi nasibnya serupa. Prestasi akademik pas-pasan. Prestasi organisasi juga sama. Prestasi yang lain begitu juga. Dan saat ini profesi yang banyak aku geluti tidak sesuai dengan jurusan yang dulu aku pilih. Jurusan sastra arab tapi menggeluti dunia jurnalistik dan penulisan. Bahkan prestatis secara akademis bisa dibilang nol. Tapi di bidang jurnalistik tidak jauh beda, aku tidak punya prestasi yang patut dibanggakan. Lihat saja bagaimana statistic kerja yang aku geluti. Semunya serba tanggung dan tidak matang. Lima bulan di harian Indo Pos. Balik ke kampus ikut ngelola website universitas. Hanya setengah tahun. Lalu ditarik ke website fraksi Golkar hanya lima bulan. Ikut mengelola majalah info societa Depsos hanya tiga bulan. Pindah ke pjinews, portal organisasi jurnalis juga enam bulan karena ditarik menjadi Redpel di Majalah Pelajar. Di MP juga hanya lima bulan. Dan kini aku putuskan berhenti sejenak untuk melihat ke depan sebelum akhirnya aku lanjutkan lagi langkahku ini. Ya, pencapaian apa yang aku inginkan. Di manakah aku meletakkan posisiku dalam dinamika kehidupan berbangsa, beragama dan global. Titik inilah yang kini aku coba petakan. Aku harus di depan dalam dinamika ini. Aku harus berperan besar dan terlibat dalam penentuan perjalanan bangsa dan dunia.

Aku yakini bahwa jalanku adalah jalan ide, kata, dan bahasa. Semua itulah yang melahirkan pengertian dan pemahaman. Dengan pengertian itulah semua orang tergerak mencapai cita-cita, keinginan dan dambaan semua. Yaitu hidup damai dan tentram. Ujung dari semua kegiatan, karir, profesi adalah mencapai ketenangan dalam hidup.

Pagi yang Cerah, 11 Nopember 2008

Kemarin hujan turun dengan deras. Jakarta diperkirakan banjir. Tetapi banjir bukan sebab adanya banjir karena yang kita tahu banjir selalu datang setelah hujan. Tetapi banjir di Jakarta kadang bisa terjadi jika air laut pasang. Jadi tidak ada sebab yang pasti terjadinya banjir.

Hari ini di luar kulihat matahari bersinar cerah, tak tampak awan, dan angin berhembus basah. Mungkin masih ada kabar hujan, tanah longsor dan banjir yang dari beberapa daerah. Aku harus bersyukur pada Tuhan. Aku masih bisa menikmati semua keindahan ini.

Oh ya ingat Freud. Aku membacanya kemarin. Aku tahu, bahwa aku hidup dengan bayang-bayang alam bawah sadar. Kesadaranku ibarat puncak gunung es. Aku rasakan sekali bagaimana aku harus menekan alam bawah sadar yang tidak sesuai dengan kehendak superego karena memang bertentangan dengan norma social. Sudahlah lewatkan Freud itu.

Hampir sebulan aku hanya di rumah. Tidak lagi bekerja seperti bulan-bulan sebelumnya. Aku putuskan berhenti sejenak untuk melihat apa yang telah aku jalani sepanjang ini. Aku harus evaluasi semua pencapainku saat ini. Ada yang keliru dalam langkahku sehingga butuh perbaikan untuk lebih baik ke depan. Menjalani dunia jurnalistik apakah sudah tepat dalam hidupku. Aku hanya yakin dalam dunia tulis menulis. Ah, aku selalu umbar ini. Tapi nihil saja tanpa diikuti dengan komitmen dan konsistensi melakukannya.

Menjaga komitmen dan konsistensi punya tantangan berat. Inilah jihad akbar karena aku menundukkan egoku sendiri. Ego itu adalah semua impuls yang mengenakkan. Menulis seperti sekarang harusnya aku lakukan terus menerus. Bahkan disinilah aku munumpahkan ide dan gagasan. Apakah itu telah aku lakukan? Tidak. Coba hitung berapa banyak waktu yang aku habiskan dengan membaca dan menulis misalnya ketimbang nonton atau mengerjakan hal ini. Benar kata Jimly bahwa banyak waktu yang kita habiskan dengan main-main belaka. Tidak ada kegiatan yang focus. Sudahlah aku tuliskan ini juga sebagai peringatan agar tidak lupa melaksanakannya. Belajarkan kepada proses yang dilakukan orang yang saat ini sukses. Mereka mencapainya dengan kerja keras, korbankan tenaga dan waktu untuk hal-hal yang tidak menyenangkan. Jadikan menulis dan membaca adalah rekreasi di mana kamu menemukan keajaiban dan keindahan yang tiada tara.

Dialogku

“Siapa kamu?”
“Tidak tahu. Karena aku begitu kompleks. Tapi tolong jangan tanyakan tentang aku lagi. Aku tidak akan pernah bisa menjawabnya.”

Sore yang Pucat, 12 Nopember 2008

Tiba-tiba aku pilek, mata berat dan badan terasa panas dingin. Gejala apakah ini. Aku tidak punya tenaga cukup. Kemudian aku tidak bergairah. Apa yang terjadi? Aku pun mulai tercenung sendiri, mencoba bercermin, apakah aku yang kulihat adalah aku sebenarnya? Apakah aku bukan sekedar kontruksi realitas atau aku yang personifikasikan dengan aku sendiri? Pertanyaan spekulatif dan reflektif?

Aku dan Cintaku

Aku katakan aku hentikan langkahku dulu untuk mendapatkan Isda. Kenapa? Alam belum menyertaiku. Dalam beberapa hal itu bisa aku rasakan. Kegagalanku ke Bandung, Eka yang hingga kini belum ketemu Isda untuk ambil coklatnya dan mungkin itu bakal mundur lagi. Itu semua bukan sebab-sebab dengan keputusanku. Kalau boleh aku katakan, aku tidak akan mengorbankan persahabatan ketimbang egoisku soal cinta. Biarlah cinta mengalir apa adanya dalam setiap kehidupanku.

Isda, ketika malam hening aku kadang dengan lirih menyebut namamu. Aku begitu bangga dan yakin menjadikan namamu menggema dalam doaku. Engkau adalah impianku dan visiku. Namun itu dari kacamataku. Belum tentu kamu seperti itu. Mungkin kamu berpikir aku bukan yang terbaik. Mungkin, tapi tidakkah kamu memberika kesempatan untuk membuktikan dulu. Dalam beberapa hal aku kurang, tapi aku tahu aku juga punya kelebihan. Sama seperti aku melihatmu, kamu juga banyak kurangnya, tapi aku tidak lihat itu karena di balik semua itu kamu punya kelebihan.

18 Nopember 2008

Matahari belum menyingsing dari ufuk timur. Aku baru saja bangun. Seperti biasa aku harus berwudhu dan solat Subuh. Kemudian di depan laptopku. Dengan tenang aku pun mengetik beberapi baris kata sekedar membangun imajnasiku agar tidak kering. Agar mimpiku kembali pada satu kenyataan di mana realitas temptku aku berpijak.

Aku mengenang kembali perjalanan yang selama ini terjadi. Bersama teman-teman sekantor, sepermainan dan mungkin teman jauh yang tiba-tiba tak ada lagi kabarnya. Tahukah kamu bahwa cinta adalah hal yang semestinya tidak dielu-elukan. Anggap biasa saja. Sebab sekali tercebur pada yang namanya cinta, maka begitu ia akan membuat kita mati suri dan kehilangan pegangan. Siapapun itu jika sudah mengalami cinta dan memjadikannya sebagai jalannya.

Namun cinta bukan hal yang terlarang, tapi ia harus dimaknai dengan penempatan yang sebenar-benarnya. Dalam hal ini aku masih harus belajar. Belajar detai soal warna hidup.

Di beranda rumah, angin semilir mengusikku. Wajahnya muncul sedemikian rupa. Aku terus merangkai kata. Aku ingin mengabadikan cintaku padanya meskipun dia tidak pernah mencintaiku. Aku bukan sang pencinta yang dikelilingi oleh bidadari bidadari cinta. Aku menari dalam cinta yang hening, dalam jalinan kata dan imaji.

aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Pagi ini, seperti di Jakarta mendung bergelayut tipis. Pasti sore nanti hujan datang lagi. Aku tidak ke kantor hari ini. Aku hanya membuka dunia lewat internet yang tersambung 24 jam di rumahku. Aku duduk sendiri, meniti waktu dalam kesepian. Sambil lalu berharap aka nada kabar dari Isda lagi. Walaupun sepatah kata itu sudah cukup menghapus dahaga kerinduanku padanya.

Lama aku diam. Membiarkan rasa ini menuntunku pada suasana hati yang tenang. Aku ingin teduh dalam tatapannya, dalam suaranya yang bersuara gemericik, dalam derai tawanya ramai. Betapa aku ingin dekat dengan kemanjaannya.

Hari-hari makin terasa asing. Aku isda makin jauh saja. Kadang cinta memang menyakitkan namun mengasikkan. Aku seperti bermain dalam berbagai perjalanan. Duduk sendiri meratapi nasib. Sudahlah, kadang seperti itu aku harus katakan pada diriku sendiri. Jangan berharap sebesar yang kita harapkan. Realistis saja. Biasakan kita marasakan cinta dengan realistis.

Abis Magriban, 24 Nopember 2008

Seharian tidur. Eh gak aku tadi abis renang. Biasa olah raga rutin mingguan yang wajib aku lakuin. Soalnya kalo gak, badan rasanya pegal-pegal gitu. Pokonya kalo udah ngomongi soal keringat, aku paling suka. Mo tahu kebiasaanku untuk keringetan. Hehe, aku selalu ke kamar mandi, ambil sabun, tanganku langsung maju mundur. Kalo udah lima keringetnya mulai keluar. (wah itu olah raga apa coli ya??). tapi kali ini serius. Aku biasa push up sama sit up. Pinginnya badanku kekar kaya Ade Ray. Perutku six pack. Apa lagi, pokoknya kayak gitu deh. Ini yang namanya performance man!!! Makin berotot makin banyak cewek-cewek yang lirik. Ini yang bikin aku semangat. Kini aku lagi cari waktu untuk fitness. Tapi ada temanku bilang gini, man meskipun lo fitness gak bakalan badan lo kayak Ade Rei. Emangnya kenapa, aku balik nanya ke temanku. Lo kan tiap hari coly. Dasar nih teman, tahu aja kalo aku coly tiap hari. Aku pun ngeloyor pergi dari mukanya.

Kembali soal renang tadi, sebenarnya selain biar sehat, aku suka liatin emak-emak yang pake baju seksi. Wuih, keren deh. Apalagi pas di air, dia langsung kelelep karena mereka gak pada bisa berenang. Ya udah, akhirnya aku yang jadi pahlawan. Lalu aku beri pertolongan pertama dengan nafas, eh gak tahunya, matanya terbuka dan bilang, I lop yu bibeh. Kayak lagunya changchuters ya...!

Aku biasa renang di Dharma Tirta. Tempat renag favoritku. Soalnya selain murah, di sini dalem banget. Dalemnya gak bisa diukur karena kakiku gak sampe ke dasar. Aku pernah nyoba, trus ke bawah, tiba aku ingat film kapal berhantu, ada cewek muncul di dasar kolam renang. Dia nyengir. Lalu aku naik ke permukaan air. Tiba di atas, beberapa kulihat ngumpul. Syukur, deh kirain kelelep, kata seorang di antara mereka.

Namun dari semua kegiatanku, yang paling seneng aku lakuin sekarang adalah kalo aku jalan-jalan ke mall. Gak hanya ketemu temen-temen, yang lebih keren aku bisa elus-elus sepatu-sepatu yang harganya mahal. Ato sekedar nanya-nanya sama penjaganya yang kebetulan seksi abis. Tapi pernah aku dimarahin, padahal mukanya kayak Salma Hayek. Rambutnya kriting-kriting kaya indomie gitu. Matanya tajam kayak kucing yang liat ikan asing di meja makan. Pas aku samperin, liat dan coba-coba, trus nanya-nanya, mbak hari ini cantik sekali. Tapi dia bales dengan giginya yang putih-putih itu, kamu mo beli ato mo aku gigit? Bener kan dia suka makan daging. Ih serem...!

Beberapa kali aku jalan-jalan ke PIM. Untung bareng teman. Bahkan temanku ini sengaja ngjak aku untuk cari-cari ide. Katanya, orang kreatif HP Nokia, untuk cari ide harus jalan-jalan keliling mal ke banyak Negara. Aku piker enak juga. Tapi emang, ide kreatif gitu ada di Mal. Ah yang bener. Tapi ada benarnya juga temenku ini. Soalnya kalo aku ke mal, pikiranku jadi terbuka. Apalagi bisa liat yang buka-bukaan. Tahu sendiri, di PIM mereka yang ke mal rata-rata bajunya minim. Ya pake tang top lah, rok minilah, seperti yang udah kita tahu, you can see (artinya, ayo liat gue biar lo sakit mata).

Aku sama temenku ke Gramedia. Liat-liat buku. Menimang-nimang kayak bayi, padahal liat bandel harganya. Kalo harganya 10 ribuan aku bakal beli nih buku. Tapi ternyata, dari sekian buku gak ada yang harganya segitu. Dasar pelit sama diri sendiri. Makanya banyak cewek pada gak nempel, pelit sih.

Man, coba liat, kita bisa bikin buku-buku kayak gini. Tinggal taste kita soal gimana tema-tema seperti ini dikemas, katanya dengan serius. Aku manggut-manggut. Padahal aku juga gak perhatiin apa yang dia bilangnya. Soalnya aku lagi focus pada seorang cewek. Biasa cewek kriteriaku. Putih dan gemuk-gemuk sapi. Wah penyakitku kambuh lagi. Tapi emang temanku ini punya banyak ide. Waktu makanpun dia kadang merenggut. Wah serius juga nih temanku. Sudah lah kita harus ketemu tiap minggu untuk munculin ide-ide. Lo aku kasih PR untuk cari ide minggu ini, kata temanku sambil makan nasi. Apa saja, yang penting menarik. Hemm...apa nih. Aku berpikir keras seperti karang di laut. Diam dan merenung. Biar badai dan hujan aku tetap diam sambil nonton bokep. Biar bisa menghayati dan menarik idenya.

Hari itu juga aku nonton film kawin kontrak lagi. Dulu aku nonton bereng cewek-cewek. Sekarang bareng cowok. Kasian deh..! Filmnya asik, kocak, dan sedikit porno. Untung dikomediin. Kalo tidak bisa dicekal sama UU APP. Bagi yang membiarkan pornografi akan dihukum penjara seumur hidup. Ah, yang bener itu UU buat teroris kali. Di dalam aku ketawa. Penonton yang lain juga ketawa. Padahal nih di depanku, rupanya cowok cewek, mereka ngos-ngosan gitu. Loh kan filmya ketawa, tapi malah ngos-ngosan. Mungkin mereka ngehayati betul ini film. Aahh, sang actor ejukalasi dini. Tapi di depanku juga teriak, aahh. Loh, kok sama. Aku jadi gak konsen gini. Aku perhatiin, mereka ngesot-ngesot memperbaiki duduknya. Ini baru porno aksi. Aku akan telpon polisi. Halo pak emergency, disini ada yang mo lahirin. Sori salah sambung. Kampret loh, kata si polisi.

Udah tahu seperti apa orang yang kesurupan? Orang teriak-teriak. Mata melotot. Bahkan marah-marah. Kejadian yang bikin aku kaget dikosan. Waktu itu aku lagi enak-enak di kasur. Lalu aku denger ada yang sura cewek-cewek teriak seperti orang nangis. Aku keluar. Aku tanya sama temanku yang lagi nonton film. Tadi di film ya yang teriak-teriak, pada temanku yang matanya asik. Dia hanya geleng-geleng. Nah apa aku tadi mimpi. Di luar, kebetulan tetangga kosan juga keluar, wanita muda, anak satu namanya royan. Orangnya item manis, aku sebenernya sering liat dia diiam-diam. Waktu jemur pakaian ato nyapu. Wak seksi badanya, kayak Mulan Jamilah hehe. Liat dia, siapa tahu, aku bisa liat keteknya banyak bulunya. Kan aku bisa nawarin jasa, mbak bulu keteknya mo dipotongin gak, aku ada gunting rumput nih. Tapi suaminya man, tatonya di lengannya banyak. Wah aku jadi ngeri, udah deh mending aku minum air kran aja biar segar dan mencret.

Oh ya, dia juga nanyain, ada yang teriak-teriak gak om. Wah, om-om nih. Iya, di mana ya. Aku coba nanya juga. sepertinya orang-orang ada cuek gitu. Gak yang peduli kalo ada yang tadi teriak-teriak seperti orang kesurupan.

Bu, tadi denger teriak-teriak gak? Dia nanya pemilik warung depan kosan. Iya, sepertinya dari belakang. Mungkin di rumah Ibu Nanda. Wah, rumah ibu kos dong. Ibu warung lalu liat ke belakang. Ah gak, mereka lagi beli somay. Nah mana yang betul. Ada yang kesurupan, kata orang laki yang beli di warung. Di belakang sini. Oh jadi orang kesurupan, setan apa jin manusia. Bu Nanda gak usah takut, aku siap jaga bu Nanda, tapi kosan gratis ya...! Sumpret, kecil-kecil udah usilin orangtua...!

Oh ya, ini soal coklat. Ingat coklat ini aku ingat sama Isda, biasa calon gebetan baruku. Tapi aku serius loh ini. Kini aku bakal berjuang sekuat tenaga untuk dapatkan cintanya. Ayo, del Armano, kamu pasti bisa, bisa dan bisa. Isda, kecil lah kayak upil di hidungku. Masak sih orang seperti kamu gak bisa dapatin Isda, kalo gak bisa ke laut aja. Kamu kan udah ada coklat tuh, coklat cinta lah. Cincay man, tenang, datengin dia ke bandung, bawain bunga kamboja, bilang ke dia, saying kupersembahkan bunga ini, aku rela mati untuk mencintai. Jangan lupa siapkan pisau kecil, trus bilang lagi, kalo tidak percaya, lihatlah aku tusuk ulu hatiku. Tapi inget, seperti di film-film, di balik baju kamu kasih obat merah. Pasti dia bakalan nangis-nangis dan bilang, gak lucu tahu. Aku memang pingin kamu cepat mati biar aku tenang sama pacarku sekarang. Tahu gak kamu, sebenarnya aku udah kirim surat sama malaikat biar kamu cepet mati aja. Hah...! cintaku, sayangku, sumpeh loh, aku boong lagi...huk huk huk.

24 Nopember 2008, Kontrakan Gubrak...

Gimana rasanya lagi nungguin orang, apalagi pingin ketemu sama cewek. Biasa mak comblang sedang beraksi. Siapa tahu kali ini jodoh. Karena kalo udah soal beginian, aku banyak gagalnya. Bukan gagal sih, tapi gak mujur aja. Dan lagi cewek-ceweknya gak masuk daftar kriteriaku selama ini. Kayak apa ceweknya entar. Udahlah mending kita ngobrolin yang lain saja. Gimana soal teman mayaku juga, sekarang di Batam. Dia punya cerita seru dan heboh. Terlambat tiga detik, keperawanannya dilempar ke laut lepas dinikamti ikan lumba-lumba. Untung ingat Tuhan dan ortu, katanya.
Nah kalo liat tipi, ngebosenin. Beritanya soal kawin cerai. Apa gak acara lain ya. Kreatip dikitlah. Acara tipi kita udah gak karuan aja.

Wah beneran, temenku ngajak temennya yang bernama Rina main ke kosan. Abis ini pasti deh dia akan telepon. ‘gimana ke, cakep gak? Apa akan dilanjutin ato gimana? Hemm...malem ini aku berpikir keras, solat istiharoh, doa minta dikasih mercy sama Tuhan. Nah loh, iya mercy di dalemnya ada permaisurinya gitu.

Aku berpikir, gimana nih dengan Isda. Secara apapun Isda lebih oke. Tapi itu hanya sepintas juga. Isda pun belum ketemu. Gimana aku harus kasih penilaian. Sama Rina, aku masih harus bertapa biar dapet wangsit dari raja jin. Tapi yang jelas aku belum ngerasa flying in the sky. Kulitnya putih seputih iklan di tipi. Senyumnya, dibandingin Isda kalah deket apalagi diaduin sambil minum kopi. Pasti termehek-mehek. Lebihnya dia jebolan pesantren, dipastiin perawan tingting, apalagi suruh baca kitab gundul dia nafsu banget deh. Soalnya sekarang kuliah di tafsir hadis. Nanti aku panggil dia untuk nafsirin kudisku yang mulai tumbuh di mana-mana. Sekalian liatin apa akan ada kudis baru di tahun 2009 nanti. Dan ini yang jelek, kalo dia gak senyum keliatan sedihnya. Tapi kalo senyum, nah itu bisa mematikan seperti ular berbisa.

Wah bakalan berat nih. Cewek satu ini tinggal klik aja sudah bisa langsung di tangan. Tapi kalo Isda akan banyak tantangannya. Tinggal pilih saja, mana aku jalani. Tapi nanti temanku akan bilang, ‘cari cewek itu jangan milih-milih, tar beneren gak dapet jodoh’ bilangnya di telepon saat aku bilang gak srek. Ya biarin dong, kan aku yang jalanin nanti. Aku yang adonin dia jadi kue pa, mo donat, bakpao yang terserah aku. Kalo aku gak cocok gak usah dipaksa gitu dong.

Baiklah, kita tunggu saja tanggal mainnya. Apa aku pilih Isda, Rina atao bakal ada nominasi lain. Katanya kalo emang jodoh gak bakalan kemana, biarpun dikejar kemana saja kalo belum juga gak bakal dapet-dapet. Tapi kalo emang dasarnya jodoh, mungkin malah tetangga sebelah jadi jodohku, ayo biarkan saja menari dan teruslah menarih. Loh itu kan lagunya laskar pelangi.

Hari yang Indah, 26 Nopember 2008

Hari yang indah. Itulah yang gue rasakan. Rinai hujan yang turun sejak siang tak henti-hentinya. Gue main ke MP. Ketemu semua temen gue. Melepas kekangenan, karena cukup lama gue sama mereka. Ngebangun MP. Katanya sih sekarang MP udah beda. Pertama, ritme terbit MP menurun. Sekarang lebih banyak even. Tapi gue gak percaya MP berubah. Tetap saja MP seperti dulu malah tampak seperti makin tua. Ismed, Mala, Jimy, Iman, Enden, Petty, Shuny, Danti, Rahmah, Ranti dan Arif tampak lelah dan menua. Selalu ada yang dateng dan pergi. Tapi itulah ritme.

Abis itu gue ke PJI. Karena di sana kebetulan Bang Fikar. Penyair Aceh ini. Lagian juga bakal ada rapat persiapan workshop BUMN di Bidakara. Tapi rapat di PJI adalah rapat yang bosenin. Oke deh gue capek. Gue gak mud tik catatan ini. Gue emang sedikit ragu dari langkah yang gue lakuin selama ini. Maaf gue tutup tulisan ini.

Sang Pencari; Sebuah Catatan Harian 2



Tahun 2007 telah jauh menusuk jantung yang sangat purba dalam diriku. Sekarang Mei yang sendu. Bahkan gelayut sendu itu telah dimulai sejak awal tahun. Kini aku selalu berjalan dalam kehampaan. Aku makin lelah mengejar keinginan yang tak pernah tercapai. Tapi keinginan adalah sumber penderitaan.

Sejak April aku merajut perjalanan yang tak pernah kusangka sebelumnya. Berkubang dengan perjalanan yang penuh dengan labirin. Aku mulai bersentuhan dengan tubuh, dengan payudara, dengan vagina dan dengan tetek segala tetek bengeknya.

Aku kehilangan prioritas dalam perjalanan mimpiku. Aku terpesona dengan pulau yang sementara kusinggahi. Sedang perjalananku masih teramat panjang. Aku masih harus melihat kompas karena dermaga cita-cita masih tak tampak. Aku memang harus memilih. Ah, selalu aku gagal dalam menguhkan komitmen. Frustasi, brengsek, tai kucing. Dadaku menggelegar. Aku terus berkubang dengan mimpi-mimpi. Semu dan fatamorgana.

Aku ingin bernyanyi dalam gelap dan sepi. Aku ingin berteriak keras. Aku ingin mengutuk diriku sendiri. Aku ingin manampar wajahku yang tak pernah melihat ke bawah.

14/6/2007

Selalu saja aku melupakan menulis. Aku melupakannya disebabkan gairah yang makin mengurang akibat eskalasi percaturan hidup yang makin besar. Di rantau segalanya dipertaruhkan atas survival. Jika tidak, mungkin aku akan menjadi sampah masyarakat. Tidak berguna dan hanya menjadi pelengkap kesemrawutan hidup. Lantas, segalanya harus dilalui dengan kecemasan dan kekhawatiran.

18/6/2007

Aku mencoba merangkai kata tapi tak pernah utuh. Logikaku terpatah-patah. Aku putus asa. Yah, tapi aku harus menulis lagi dan menulis lagi. Catatan ini mungkin menjadi penghancur kebekuan itu.

Satu masalah kenapa aku tak bisa merangkai kata dengan baik adalah wawasanku yang tidak menyeluruh. Aku hanya ingin menulis dari apa yang aku tahu. Kadang ini yang menghambat aku untuk menulis. Tahukah kamu bahwa aku ingin hidup dengan kata-kata, dengan tulisan yang bisa dibaca oleh semua orang. Agar mereka tahu kesepian hati, kerinduan jiwa, dan dendam yang membara.

Belakangan ini aku selalu tidak focus. Mungkin kesekian kali aku nyatakan dalam tulisan ini. Tak apa. Aku hanya ingin menghela nafas dalam-dalam. Melepasnya ke udara sehingga segala duka dan resah terbang bersama angin.

Bila aku sendiri, merenung, maka aku mendapati kenyataan aku selalu kalah dengan diriku sendiri. Ya, musuhku dalam meraih kesuksesan bukan disebabkan factor luar, tapi itu datang dari dalam diriku. Mulai komitmen diri, tidak focus, dan rasa kurang percaya diri. Aku selalu mencoba untuk bangkit tapi kemudian terhempas lagi. Aku bangun lagi tapi tidak pernah belajar dari kesalahan yang lalu itu. Obsesiku sekarang adalah melanjutkan kuliah S2.


7/7/7

Angka yang keramat. Begitulah kata orang. Sehingga pada hari itu semua melaksanakan hajatnya. Ada yang menggelar pernikahan, selamatan, dan juga berwisuda. Ke kampus UIN hanya megucapkan kata selamat kepada mereka yang telah mengenakan topi sarjana.

Dalam ilmu komunikasi, jika ada gangguan dalam proses pengiriman pesan maka yang terjadi adalah miskomunikasi. Kiranya seperti itulah yang terjadi pada Ustad Mustaqim. Ia datang karena adalah salah informasi soal pengajian. Pesan yang sampai tidak jelas. Akhirnya ia pulang kembali, mungkin, dengan rasa kecewa yang ia pendam sendiri dalam hati. Tak mungkinlah jika harus dilontarkan karena ia ustad; sosok agamis yang menjadi figure yang selalu mengajarkan soal etiket dan kesabaran. Bangsat, cuacuk!!!!

8/7/7

Minggu, alhamdulilah hatiku begitu damai. Tadi pagi aku mimpi basah, lalu mandi dan berdoa. Aku bedoa untuk semua orang. Aku ada dan eksis karena mereka. aku mungkin tidak tersebut sebagai manusia jika tidak ada mereka. aku yang personal kemudian menjadi mereka yang komunal, maka lahirlah umah. Dalam Quran ditegaskan, bahwa umat yang terbaik adalah yang menyeru pada kebenaran dan semaksimal mungkin jauh dari sifat jelek dan buruk. Sebelum melepas sarung aku bisikan doa lagi dalam duhaku.

Seharian tidak beranjak dari halaman rumah. Karena kebetulan tidak ada agenda, Katib main dari tadi malam. Aku hanya ngobrol dengannya hampr sepanjang waktu. Ngomongin apa saja.

8/8/7

Hari ini Pilkada DKI Jakarta. Hasil penghitungan cepat memenangkan pasangan Fauzi Bowo-Priyanto. Incumbent tak bisa dibendung. Selain modal sosial, Foke juga modal kapital yang besar. Apalagi mereka mendapat dukungan dari 20 partai politik. Inilah realitas perpolitikan kita dewasa ini. Apapun hasilnya, saya sebagai warga negara berharap bahwa pasangan terpilih harus memberikan perubahan yang mengarah pada kebaikan warga Jakarta. Terlepas masih tingginya angka Golput. Pelaksanaan Pilkada harus terus dievaluasi. Karena yang ada sekarang jauh dari harapan.

12/8/7

Ketika aku ingat Seno, maka aku ingat senja. Seperti saat ini aku menanti senja. Saat dimana aku merasa segalanya tak bisa disentuh. Semua menjadi bayang-bayang. Kadang aku hanya diam. Merasakan kehampaan yang menyentuh. Di sanalah waktu transisi. Ada yang berkemas untuk menuju waktu yang lain, yaitu malam. Ya, kadang hidup perlu obesesi. Perlu kenakalan. Perlu yang keluar dari pakem. Tapi ada kalanya tetap di rel yang telah disediakan.

Menekuni buku yang membosankan. Diam. Membiarkan waktu berlalu saja. Hampa. Begitulah hari-hariku. Melewatkan pagi. Membiarkan matahari meninggi tanpa kupandangi warnanya yang cerah. Dan mungkin aku menanti senja yang sebentar lagi datang. Duduk di balkon meraup warnanya yang keemasan. Ah. Tiba-tiba aku ingin terbang ke matahari itu. Bermain dengan sinarnya yang membuatku menguning. "Sayang, tahukah kamu aku ingin kita duduk bersanding dengan latar matahari terbenam. Ya, kala senja itu," kata lelaki dengan rambut ikal tebal pada perempuan yang bersender di dadanya. Ya kata ini aku buat karena aku tahu Seno ingin membuatnya. Seperti sepotong senja untuk pacarku.

18/8/7

Sebuah kesadaran diri menjadi pijakan awal dalam memandang dunia. Eksistensilisme dikukuhkan sebagai jawaban bahwa diri itu eksis dan memiliki kekuatan besar dalam perubahan. Aku sadar, kesadaran akan sejarah sangat penting sebagai pijakan untuk melangkah. Kemarin hari kemerdekaan bangsa ini diperingati. Upacara hingga kemeriahan lomba-lomba. Merdeka!

Sudahkah kita merdeka. Pertanyaan yang sulit terjawab. Tujuan perlawanan awal terhadap imperialisme adalah tercapainya cita-cita keadilan dan kesejahtraan rakyat. Namun sejarah yang kita tahu adalah sejarah-sejarah penghianatan terhdap cita-cita itu. Soekarno juga harus jatuh demi terjadinya perubahan demi perubahan. Namun peralihan kepemimpinan ke Soeharto tak jauh beda. Rakyat tertindas dalam kekuasaannya. Penghianatan terhadap perjuangan terus terjadi. Orang-orang yang berteriak lantang terhadap penindasan dan ketidakadilan sistem diam. Mereka lebur di tengah pusara kekuasaan.

Hingga sekarang, setelah 62 tahun merdeka, masihkah kemerdekaan telah kita raih. Banyak orang yang tak bisa menjawab. Entah, tapi mata mereka berkaca-kaca. Kesulitan hidup makin getir. Anak-anak banyak tidak sekolah karena biaya pendidikan mahal. Anak-anak kurus kerempeng karena kekurangan vitamin. Di beberapa tempat mereka berebut beras, minyak tanah dan minyak goreng. Apakah kita sudah merdeka?

Lengsernya Soeharto menjadi awal kembali tercapainya cita-cita keadilan sosial. Namun, era yang dikenal Reformasi ini belum mampu menyelesaikan akar dari permasalahan. Pembangunan yang terus dilakukan tidak merata dan hanya memperkaya sekelompok orang. Ihtiar perjuangan dan semangat kebangsaat teredusir oleh kepentingan-kepentingan sektarian. Persoalannya melulu berdebat soal warna partai dan kelompoknya. Capek deeh! Dan Gie, sosok yang harus berjuang sendiri dan tanpa teman dan harus mati dalam sepinya alam. Gie selamat jalan, aku doakan apa yang kamu lakukan menginpirasi semua orang untuk mengikuti jejakmu. Tanpa pamrih kecuali demi dan untuk rakyat.

Setelah reformasi mati suri, apa lagi? Masih kita berharap pada perubahan. Perlawanan harus terus didengungkan. Tidak ada kata berhenti. Jika penghianatan pada cita-cita sosial terus terjadi, maka perlawanan akan perubahan harus bergulir. Tidak peduli siapapun presiden dan apapun partainya. Indonesia milik rakyat yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Jangan sampai Indonesia terkapling dan terkotak dengan kedaerah dan kepartaian.

19/8/7

Semalam adalah malam karaoke. Cukup ramai. Di akhir acara anak-anak bergoyang. Beberapa kulihat sebagai ekpresi diri. Yeni 1 nyanyi kucing garong. Ceweknya Dani suaranya merdu. Yeni 2 nyanyi lagunya Bunga Citra. Suaranya merdu. Aku pikir dia sering karaoke atau memang dia kerja di tempat karaoke. Sama dengan Irvan. Dia memang sering karaoke, entah di mana, sekarang karaoke menjamur di mana-mana sebagai bentuk gaya hidup baru masyarakat atau bentuk rekreasi keluarga.

Jamal malam itu deketin Rina. Entah sebagai Kakak atau teman. Aku kira banyak yang melihat itu. Ah, aku tak peduli. Tapi malam itu aku tidak lepas. Aku tidak menjadi diriku. Tahukah kamu jika aku ingin dilihat orang. Aku muak.

20/8/7

Aku baca Gie. Idealismenya tinggi. Tapi sayang dia mati muda. Tapi takdir itu yang dia inginkan. Aku sebenarnya ingin lebih detail tahu soal hubungannya dengan beberapa wanitanya. Maria-Rina-Sunarti. Ya, dia tidak pernah menemukan cinta platoniknya itu. Dia dicintai sebagai out-group tetapi tidak in-group. Terlalu beresiko bagi keluarga mereka. Begitulah, Gie harus meninggal ketika semua orang menjauh.

23/8/7

Hari tak pernah sama. Selalu ada kesempatan yang dilewatkan begitu saja. Kecuali kamar yang pengap, kasur yang kusut dan hujan yang selalu datang pada setiap sore. Suasana hatiku juga berubah-rubah. Sama seperti hari yang tak pernah sama. Menghabiskan malam dengan nonton bola.

30/8/7

Perubahan terus terjadi. Umur berkurang. Kematian terus menghampiri. Namun adakalanya kita tidak menyadri hal itu. Kita terlena dengan keadaan yang seolah-olah sama. Padahal setiap detik perubahan terjadi. Tidak da yang sama dari yang kita rasakan. Perubahan itu mengalami siklus yang berputar-putar. Seperti kata Parmenides, setiap kita turun ke sungai apakah itu adalah air yang sama? Begitulah, kita mesti hati-hati dan mawas diri. Melwatkan perubahan sedikit mungkin kita telah menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut berubah. Coba kamu renungkan, resapi, bagaimana partikel dalam tubuh dan sekitar terus bergerak. Artinya tidak ada kata diam dalam hidup. Bergerak dan bergerak adalah jawaban dalam menekuni perjalanan hidup ini. Tidak perlu ada kecewa, kecil hati dan pesimis jika kita terus dengan konsistensi yang tinggi. Karena pencapaian cita-cita merupakan akumulasi dari konsistensi gerakan yang kita lakukan.

3/9/7

September yang letih. Jalan makin terjal. Kesanku masih sama dengan Agustus. Aku makin tidak nyaman tinggal di rumah ini. Ada beban piskologis meskipun ini rumah kakakku. Dua tahun sudah aku lewati. Tapi seberapa besar aku telah berikan sesuatu kepada mereka, baik berupa materi maupun non materi. Yah apalagi aku tak kerja sekarang. Aku ingin segera keluar dari rumah ini.

4/9/7

Begitu banyak hal kecil di sekitar kita yang luput dari perhatian. Kita Menganggapnya hal biasa. Padahal jika direnungi akan timbul kesan mendalam. Misalnya soal perbedaan. Begitu tampak bagaimana perbedaan mengelilingi kehidupan kita. Namun perbedaan itu tidak menimbulkan cekcok. Bahkan dari sanalah bahwa perbedaan, keragaman corak dan karakter saling menjalin membentuk harmoni sosial.

Syukur. Kata yang pantas aku ucapkan di setiap tarikan nafas. Syukur bahwa hingga detik ini aku masih hidup dan sehat. Berapa banyak orang yang telah mati pada detik ini juga. Dan betapa banyak pula orang-orang yang sakit di detik yang sama. Aku bersyukur karena masih duduk dan mengetik depan komputer. Aku bersyukur karena tadi olah raga dan sarapan. Aku bersyukur aku memnyimpan harapan besar untuk masa depanku. Tak perlu keluar kata umpatan dan sesal dengan kenyataan sekarang. Tidak ada masalah dalam hidup. Karena kita sendiri yang membuat masalah itu.

Selasa yang menyembulkan kesadaran baru dalam hidup ini. Menginspirasi untuk terus maju dan melangkah meraih mimpi yang kerap ganggu tidurku. Betapa aku sering bersikap konyol dengan diriku sendiri. Tak tahulah. Aku hanya ingin berbuat yang terbaik bagi siapapun termasuk untuk diriku sendiri. Termasuk kepada Bangsa ini, Indonesiaku. Namun Ibu Pertiwi meradang sekarang. Keadilan dan kesejahteraan yang didamba tak kunjung datang. Sejarah bangsa ini adalah sejarah penghianatan terhadap cita-cita luhur bangsa. Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi belum mampu sejahterakan rakyat. Ada persoalan mendasar yang tak terselesaikan dari pra kemerdekaan hingga saat ini. Yaitu niat dan itikad untuk menjadi negarawan sejati.

29/9/7

Tadi buka bersama keluarga di saung telaga sekaligus merayakan HUT Sifa ke-6. suasananya ramai. Bahkan tidak hanya Sifa yang, tapi di meja sebelah sama ngadain ulang tahun. Bahkan, di beberapa meja selepas buka acara tiup lilin ini juga digelas. Senandung lagu ulang tahun terdengar.

Sebenarnya hari ini aku diundang buka bersama pak Edi Budiono. Tapi aku malas, karena harus datang sendiri. DH Ismail tidak merespon dengan baik.

Aku bagian yang muda dengan pandangan jauh ke depan. Pandangan dengan melepaskan segenap egoisme kepentingan jangka pendek. Bahwa, terjun dalam dunia profesionalisme hanyalah alat untuk bergerak lurus di garis perjuangan. Aku mencita-citakan terbentuknya masyarakat adil sejahtera. Penyelenggaraan pemerintahan yang memihak kepada pembangunan kemanusiaan. Ah, ini mungkin terlalu platonik. Karena sebenarnya aku harus tetap berdamai dengan kenyataan hidupku. Aku tetap butuh uang untuk bertahan hidup di Jakarta.

7/10/7

Menjelang hari yang fitri, kesibukan mudik terasa di mana-mana. Tv dan koran ikut menyemarakkannya. Bahkan media menyediakan ruang khusus mudik. Ya mudik merupakan fenomena ilahiah. Ada rasa kerinduan yang mendalam ketika lebaran tiba untuk pulang kampung. Sebuah tradisi yang menyemai nilai-nilai ketuhanan yang sungguh luar biasa menyentuh bagi setiap insan. Beberapa teman telah mudik. Aku sendiri dua hari lagi baru mudik.

Introspeksi. Itulah yang harus aku lakukan sekarang. Pulang kampung adalah untuk menambah energi baru, menyemai semangat untuk berjuang di rantau. Aku ke Jakarta berarti aku hijrah dari kampungku, Madura. Apa tujuannya, tentu sebuah perubahan status sosial, dan yang lebih penting adalah perubahan pola pikir dari pariperi ke kosmopolit. Ya, begitulah aku harus mudik tahun ini meski harus berdesakan dengan ribuan pemudik lainnya.

Mengerti arti hidup dan perjalanan ini menjadi penting untuk merangkai langkah ke masa depan. Ada yang mengatakan sukses itu harus disiapkan dan direncanakan. Karena itu aku harus mulai dari sekarang dan tidak ada kata nanti. Apa obsesiku? Mulailah untuk sibuk. Jangan ada kata diam. Karena dengan diam, maka kita berhenti merajutnya. Dan itu artinya menutup peluang untuk sukses.

Rahman, mengertikah kamu akan konsep diri? Seberapa jauh kamu kenal diri kamu sehingga kamu betul dekat. Seperti dekatnya nafasmu sendiri. Ayolah, jika kamu sudah mengenalnya, kenapa kamu seperti ini? Aku katakan ini, karena diri kamu labil. Banyak anasir-anasir instan yang tumbuh dalam otakmu. Coba petakan masa depanmu dan bagaimana meraihnya.

9/10/7

Akhirnya, aku mudik tahun ini. Merasakan suasana haru di kampung halaman bersama paman dan bibi. Karena orangtua dan keluarga ada di Jakarta. Rencananya aku mudik bersama temanku bernama Olis dengan naik kereta api pada Kamis besok. Aku tahu mudik pada H-2 mungkin beresiko dengan berhimpitan dan berdesakan. Tapi, aku lebih memilih pulang dengan jalan karena ongkos bis terlalu mahal. Tiketnya tak terbeli. Begitulah, aku bergarap ini semua tidak akan mengurangi suasana lebaran nanti.

Tadi siang ke Plaza Depok. Beli celana jeans pesanan Robi. Mintanya celana dengan model robek-robek. Susah sekali, sekali ada harganya mahal. Aku berpikir dua kali untuk membelinya. Tapi kemudian, aku belikan saja yang lebih murah. Sebab, aku kepikiran ketika pulang tanpa membawa apa-apa. Kemarin, sebenarnya aku telah beru jika celananya mungkin tak terbeli kali tapi lain waktu. Tapi rasa tidak enak terus menggelayuti pikiranku. Ya, lebaran itu merupakan kemenangan. Dan aku tidak ingin merusak suasana itu.

16/12/2007

Perhimpunan Jurnalis Indonesia atau PJI menjadi tempat baruku menatap masa depan selain di Majalah VISIKITA. Kesemuanya itu adalah untuk media refleksiku menghadapi dunia ini. Aku sadar ini terminal akhirku untuk menempa diri. Bukan berarti ini akan menjadi tujuan akhir, tetapi aku harus berhenti dulu untuk berpindah-pindah tempat. Apapun yang terjadi, aku ingin tetap di PJI dan VISIKITA.

Kali ini hanya menggawangi portal PJI. Menjadi wartawan sekaligus mengupload data di PJINEWS.COM itu. Tak apalah aku hanya mengambil jaringan para jurnalisnya itu. Untuk media menulis aku akan tetap harus kembangkan sendiri.

Hari-hariku mungkin tidak akan ada di depan komputer ini. Aku akan lebih banyak di depan komputer PJI. Ya, karena aku tidak lagi di rumah ini.

Sang Pencari; Sebuah Catatan Harian

02 Januari 2006, 22: 48 wib

Selalu saja inginkan perubahan ketika memasuki tahun yang baru. Untung masih memiliki keinginan daripada tidak sama sekali. Sebab keinginan untuk menjadi lebih baik adalah sebuah keniscayaan yang musti tertanam kuat. Meskipun nantinya, keinginan untuk berubah tidak terlaksana.

Begitu pula di tahun 2006, banyak resolusi yang ingin diperbaiki dari 2005 lalu. Tentunya, 2006 diharapkan menjadi momentum untuk perubahan mendasar. Seperti dikatakan tajuk Kompas bahwa 2006 merupakan tahun pembuktian. Jika ingin berubah, maka peganglah komitmen itu. Sejak dua hari bergulir dari tahun 2005, untuk pribadiku belum ada perubahan signifikan.

Padahal sejak terompet dibunyikan, sejak itulah umurku juga bertambah. Saya bukan yang dulu lagi, saya adalah yang sekarang dengan berbagai tantangan dan harapan. Maka perubahan, resolusi yang saya katakan, mau tidak mau harus terjadi. Jawabannya adalah revolusi diri. Membaca kembali file kehidupanku yang lalu merupakan cara mengungkap rahasia yang terkandung dalam diriku. Berapa besar potensi yang saya miliki untuk melalukan perubahan. Dengan menatap ke masa depan, saya ingin memancangkan bendera harapanku. Saya ingin menjadi lebih memahami siapa diriku ini. Lebih mendalami perjalananku di bumi ini. Saya baru meneguk setetes tanda-tanda pengetahuan.

Resolusi baru, persepsi baru, pengetahuan baru dan hal-hal baru lainnya menjadi puncak pencapaianku di musim 2006 ini. Hidup yang dilingkari waktu terus saja berlari meninggalkanku. Semakin saya tidak peduli dengan waktu, maka akan makin tertinggal jauh. Bahkan percepatan teknologi modern makin menghilangkan sekat wilayah. Maka modern mengidealkan kecepatan tetapi bukan kesayaratan. Kini saya mencoba bagaimana dua hal tersebut bisa kugapai dengan maksimal. Apa sih bentuk konkritnya? Saya hanya memulai dari dalam diriku, yaitu mengatur waktu untuk berpikir maju. Kita diselimuti dengan waktu. Maka kita harus mampu mengaturnya, buka kita yang diatur waktu. Time is money kata orang inggris. Waktu bagaikan pedang kata orang arab. Semuanya menyiratkan bagaimana waktu begitu dihargai luar biasa. Maka hal penting yang harus saya lakukan di awal tahun ini adalah bagaimana waktu menjadi milikku.

Dari waktu bisa beranjak pada resolusi lainnya. Saya bisa mulai menulis dengan waktu yang saya miliki. Dari 24 jam yang ada, berapa jamkah kugunakan untuk menulis? Tentu menulis tidak hanya sekedar sebagai hobi, tetapi sudah menjadi professional. Waktu yang kita tetapkan harus diikuti dan ditaati. Komitmen pada apa yang ditetapkan olehku sendiri.Selain itu, dengan waktu yang saya miliki, saya pun bisa membagi untuk beranjak pada dunia lainnya. Jika menulis sebagai kerja profesional, maka masuk pada dunia yang lebih professional adalah bergabung dengan penerbitan majalah, maupun tabloid. Saya masih ingin mencintai dunia ini. Namun lantas tidak berarti saya menjadi sosok yang idealis. Saya juga ingin membangun bisnis. Saya ingin memasuki dunia di mana uang berharga. Apapun jenis usaha tersebut, yang penting orientsinya adalah profit.

03 Januari 2006, 19:25 wib

Perlahan tapi pasti perubahan harus terjadi. Hanya satu kata untuk sebuah perubahan, keberanian. Mentalitas ini terkadang sulit ditumbuhkembangkan, karena persoalannya ada dalam diri kita sendiri. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya kita takut melangkah, takut menentukan tindakan. Padahal kita belum tahu efek dari tindakan tersebut. Bisa memiliki peluang besar, namun di sisi lain memang belum saatnya untuk meraih kemenangan. Lantas apakah itu akhir dari pencapaian cita-cita kita. Tidak ada yang menjamin jika itu adalah kegagalan. Namun jika tidak pernah dicoba, maka kita tidak akan belajar dari pengalaman kegagalan yang lalu.

Menumbuhkan jiwa wirausaha menjadi sangat penting. Apalagi bekal ini berupa cara pandang, persepsi, bahkan mental dalam menghadapi percaturan global. Menjadi kreatif dan inovatif merupakan yang penting ditanamkan kepada siapapun. Sehingga ketika selesai dari kuliah, mereka tidak menambah barisan pengangguran. Harusnya mereka diorientasikan menjadi pembuka lahan kerja (job creator) bukan pencari kerja (job seeker).Saya merasa terjadi perubahan dalam cara pandangku tentang masa depan ini. Bagaimana pun jiwa entrepreneurship memang harus membatin. Menjadi penulis professional kiranya bisa memulai langkah ini.

Oh ya, setelah ini saya ingin curhat soal Nenk, teman dekatku saat ini. Apakah kedekatan hubungan identik dengan pacaran. Saya kira persepsi ini tidak seluruhnya benar kan. Kasusku bisa dijadikan contoh. Terus terang, saya sebenarnya menciptakan ketergantungan pada Nenk. Akibatnya, satu sisi Nenk lambat berkembang dalam soal tulis menulis. Sisi lainnya, hal itu berakibat kedekatan di antara kami. Sisi kedua inilah yang saya harus jaga agar tidak muncul persepsi lain. Bahwa sebenarnya, saya tidak ada hubungan special dengannya.

Namun jika bicara soal kelelakian (maksud loh) saya harus akui secara jujur memang ada sesuatu yang mendesir di dada saya ketika saya di dekatnya. Mungkin ini cinta atau sekedar nafsu. Tapi hingga kini, saya masih berpikir panjang, bukan karena dia tidak cantik dan manis. Namun, tahukah kamu bahwa saya memendam sebuah mimpi besar. Dan saya belum memastikan siapa yang akan mendapingiku untuk menggapai mimpi tersebut.

03 Januari 2005, 17:17 wib

kenapa saya ingin terus menulis, menulis dan menulis. Karena dengan menulis saya bebas, tidak ada larangan mau ngapain aja. Dari yang paling suci hingga paling tabu. Saya menemukan oase yang mampu menghilangkan dahaga saya terkait dengan eksistensiku. Ya, saya merasa menjadi manusia bahkan seperti disebut Nietsche sebagai manusiasuper. Menulis menjadi senjata perlawanan untuk menuju perubahan. Perlawanan itu bersifat silent, diam-diam, wacana, tetapi efektif untuk mempengaruhi orang.

Berapa banyak perlawanan dikobarkan lewat untaian pemikiran yang tertulis. Berapa inspirator gerakan memulai dengan membaca yang lantas menuliskannya sebagai propaganda. Jika mengingat kembali bagaimana penggulingan kekuasaan Soeharto karena peran pers yang cukup besar.

Ok, ini alasan kenapa saya ingin terus menekuni dunia penulisan dan kepengarangan. Dua hal yang berbeda walaupun sama menulis. Yang pertama condong pada dunia ilmiah, kerja-kerja yang mengikuti kaidah bsaya, bahwa tulisan harus sesuai dengan EYD, tidak fiktif, memiliki data valid dan sayarat. Sedang yang kedua lebih bagaimana si penulis mengarang-mengarang, membuat sesatu yang tidak terjadi bisa terjadi. Condongnya lebih pada fiktif, rekaan, dan imajinatif.

Sekarang saya ingat bagaimana resolusi 2006 ini harus terlaksana. Resolusi itu adalah saya harus menjaga komitmen untuk menulis. Memberi waktu banyak untuk membaca dan menulis. Pertama, skripsiku sudah beres. Kerjaan di UIN Online tidak perlu diforsir karena hanya sampingan. Mungkin baiknya saya focus pada perangkat yang harus dipenuhi ketika saya ingin sidang maupun wisuda. Seperti, beberapa mata kuliah yang hingga kini belum keluar, dan hal-hal terkait lainnya.

15 Januari 2005, 17:30 wib

Menjumpai pekerjaan yang monoton acapkali kita bosan. Merasa terjadi stagnasi dalam perputaran kehidupan kita ini. Selama kurang lebih lebih seminggu, saya bergelut dengan penulisan. Mulai menulis untuk berita di UIN Online, Bina Rohani, dan mengetik catatan kebudayaan Taufiq Ismail di majalah Horison. Duduk melototi layar komputer yang panas.

Namun di balik itu semua, ada hal lain yang tiba terasa indah dijalankan. Salah satunya kenikmatan dan kebahagiaan menulis di pagi hari. Ketika suasana hening menyelimuti kamarku, saat pikiranku segar, tanganku seakan bersinergi dengan pikiranku yang akan menuangkan ide. Namun efek negatifnya, saya juga merasa tubuhku makin membungkuk. Hal itu karena posisi dudukku yang kadang tidak tegak. Ada rasa nyeri dipunggung. Sekarang memang tinggal saya yang menjalankan. Saya sudah banyak membuat resolusi, bermimpi besar, tapi hingga kini saya hanya NATO, No Action Talk Only.

Ini menjadi tantangan bagaimana saya komitmen dengan pilihanku, dengan jalan masa depanku yang ingin saya rintis. Selalu berpikir logis dan factual. Dalam mengejar impian yang saya canangkan sekarang tidak terlalu muluk. Persepsinya memang harus ada pergeseran.

16 Januari 2006, 22:36 wib

Hari ini saya akan mulai lewat pagi dengan sinar menguning di halaman rumah. Kudengar deru motor lalu lalang. Saya tahu ojek yang mengantarkan penumpangnya berangkat. Saya masih malas di tempat tidur. Suara khas ibuku terdengar dari daun pintu yang terbuka sedikit. Setiap pagi, sepulang dia dari masjid berjamaan subuh akan memhampiriku dan menyaiku.

“Sudahkah kamu salat, anakku?” dan selalu saya menjawabnya dengan menhatakan, “Udah.”

Ya, saya berbohong padanya, pada orang yang kuyakini sebagai peri pelindung yang juga payung kasihku. Cepat saya bangun. kubilas muka saya dengan air. Kulitku tersentak karena dingin. Kulihat wajahku di kaca. Di sudut mata saya kulihat butiran putih. Segera saya bilas. Kamar mandi biru langit, pesing air kencingku, dan rasa kantukku yang menggumpal di mata saya. Pagi ini saya ingin mandiin kuda besi kesayangan. Hampir seminggu ia tak menyentuh air rumahku. Kecuali hujan yang belakangan ini mengguyur kota saya, menggenagi jalanan, hingga Jakarta kebanjiran.

Pengantar Koran membawa Koran pagi ini. Beritanya soal sarana transportasi yang melintasi jalur Sumatera. Akibat hujan banyak jalan berlumpur. Itu menyulitkan pengiriman bahan makanan ke beberapa daerah. Tentu ini harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Tidak seharusnya jalan utama yang menghubungkan berbagai kora di Sumatera terhambat karena jalannya rusak. Saya hidangkan secangkir the menemaniku membaca Koran pagi itu.

17 Januari 2005, 18:30 wib

Shoping untuk kebutuhan keluarga ceritanya. Tahu berapa habis duitnya, 70 ribu. Untuk beli buku akhirnya dipending dulu hingga dapat subsidi lagi. Benarkah ini gejala komsumerisme? I don’t know, tapi yang pasti ketika saya punya duit terus jalan ke toko buku dan pusat perbelanjaan lainnya, saya tak sungkan-sungkan merogoh kocekku. Saya merasa puas setelah menimang-nimang barang yang saya beli. Bagaimana saya menjadi orang kaya jika tidak cerdas financial.

Pagi ini kubuka dengan rinai hujan. Langit tiba-tiba kelabu. Tak kulihat sinar matahari yang biasanya menerobos masuk dari balik ranting-ranting pohon. Saya masih terus menunggu. Kuhidupkan komputer, lalu saya menulis tentangku di musim penghujan ini. Tapi iya, saya bari ingat akan menemani nenk yang ingin liputan, tapi bagaimana langit makin mendung dan hujan tak kunjung berhenti. Gelisah. kubaca Koran pagi ini yang isinya hanya soal aksi demontrasi di Jawa Timur. Mereka ingin minta upahnya dinaikkan. Entahlah begitu banyak malapetaka yang menimpa bangsa ini. Banyak yang mengatakan bahwa ini ujian, laknat, dan banyak asumsi lainnya.

Benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Sudah dua kali sms dari Nenk, bahkan dia menelpon menanyaiku di mana. Tapi saya sendiri belum beranjak dari rumahku, saya menunggu hujan reda. Benar hujan baru setelah jam satu siang. Saya pun lantas berangkat ke Pondok Cabe, simpan uang di Bank BCA. Payah saya harus berdiri datu jam-an. Saya sih tidak sampai dua menit. Tapi sebelumku sampai ada yang lebih sepuluh menit bahkan lebih. Mereka rata-rata setor uang se plastik dan setas. Kasihan di belakangku, ada sekitar sepuluh orang lagi yang mengantri. Betul hari saya dapat uang duaratus ribu hasil jerih payah tik naskah Horison. Lumayan buat jajan.

Hanya saja, uang tersebut bakalan habis sebelum Januari berakhir. Seperti ynag saya katakan, saya harus cerdas finansial. Dapat uang bukan untuk dihabiskan tapi diinvestasikan untuk hal menguntungkan di masa yang akan datang. Apa ya?

21 Januari 2006, pagi hari

Hidupku resah. Transkip kaset untuk dapat duit. Belum ada pengembangan yang wawasan pribadi. Sungguh menyesakkan. Saya belum melsayakan apa-apa pada obsesi, mimpi dan keinginan yang saya bangun. Saya ingin menjadi gila. Gila pada mimpi dan dan obsesiku.

23 Januari 2006, dini hari

Jalanan malam ini basah. Langit kelam. Sesekali kilat membelah malam yang pekat. Tampak beberapa orang berjalan di jalan dengan berpayung. Air depan ruko menggenang. Mobil memanjang berjejer. Mereka lebih senang berdiam dalam rumah.

Begitulah hari ini, senin di bulan Januari.“Warung” base camp yang juga secretariat
teman-teman mengembangkan proyek-proyek berdenyut. Tv 14 inch menyala di atas sebuah almari kaca. Isinya beberapa helai pakaian dan sarung, juga alat tulis lainnya. Dua komputer dan satu laptop menganga.

Malam itu saya menunggu hujan reda. Namun hari adalah hari berbahagia. Pertama karena telah membantu seorang ibu. Dia terlambat ke tempat kerjanya. Dia cukup bahagia, tersenyum dengan simpul doa. Mudah-mudahan segalanya lebih mudah. Bukan berarti dewi fortuna terus memayungi perjalananku. Tapi saya terus mengantuk. Kapan waktu saya tertidur.

24 Januari 2005, 22: 15 wib

Jalanan malam ini tidak jauh berbeda dengan malam kemarin, basah. Hujan sejak siang tak berhenti menyirami bumi. Memberi kehidupan kepada makhluknya. Turunnya hujan tidak hanya membawa rahmat, tetapi, di sisi lain ia membawa sengsara.

Jakarta, tiap kali hujan datang selalu kebanjiran, jalanan macet, dan penyakit datang. Ya, malam itu saya terus melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Entah berapa kali orang-orang memakiku karena main serobot. Saya terus saja melaju di jalan yang kulihat samar. Rinai hujan menghalangiku pandanganku.

Hujan, saya kadang ingin bermain di antara desingan suaramu yang menghantam kulitku.

Di bulan Januari, hujan selalu datang di akhir hari menjelang malam. Biasanya ia baru berhenti ketika kokok ayam beterbangan di udara. Saya selalu mafhum dengan waktunya. Bahkan saya sudah mulai bisa ambil ancang-ancang kapan harus jalan dengan motor atau diam menanti hujan turun.

Pagi tadi, ketika kelopak mata saya baru terbuka ada perasaan berat yang hinggap di dada saya. Saya seperti terbebani sebuah beban berat. Saya sudah bangun ketika suara pagar dibuka ibuku yang akan berangkat ke masjid. Tapi saya tahu, masih terlalu pagi. Saya pun melanjutkan tidur.

Mungkin ini kebiasaan jelek, atau suatu hal yang normal saja. Saya terhenti sebentar untuk menjelaskan apakah yang saya lakukan sebagai kebiasaan jelek, atau bukan. Ya beban yang terasa berat itu karena saya harus meliput acara di rektorat terkait dengan diskusi draft integrarasi keilmuan UIN Jakarta.

Saya pun harus mengejar waktu ini, mengejar kejenuhan menjadi kebahagiaan. Saya harus belajar mengambil yang positif walaupun tidak pernah saya suka. Hadir dalam diskusi beberapa dekan, guru besar, dan pakar-pakar pendidikan. Saya sedikit bangga mendengar mereka mengemukakan ide dan gagasannya.Saya duduk dalam sebuah ruangan yang dikenal dengan Ruang Sidang Utama. Sebuah ruangan eklusif untuk pertemuan orang-orang penting.

Dindingnya terpajang rector-rektor dari awal hingga kini. Sebuah proyektor di pojok ruangan. Sebelum masuk agak tidak suka dengan birokrasinya. kenapa saya harus dibedakan dengan lainnya? Apakah saya tidak ada tampang orang pintar dan penting. Dasar, sumpret, tai. Ini buah bagaimana birokrasi yang ketat. Akhirnya tidak ada penghargaan bagi kemanusiaan. Tiap orang dilihat tidak sebagai manusia, namun birokrat yang rigid. Saya hanya butuh setengah jam untuk menulis laporan beritanya.

Eti dan Aniq, dua perempuan dengan karakter berbeda, saya kira menemaniku. Tidak, dua perempuan ini menyimpan kronik yang fantastis. Aniq dengan gayanya yang ceplas-ceplos menghantam siapa saya tidak dia senangi. Eti diam tapi sekali menggigit akan langsung membunuh. Di kantor ia punya peran besar.

27 Januari 2005, 20:45 wib

Hari ini saya ke kampus dengan tidak mengendarai motor. Motorku harus menginap di AHASS bengkel. Benar saja, pengeluaranku hari ini membengkak. Hampir seratus ribu hilang begitu saja. Tapi di sisi lain itu apa yang saya alami mampu menutupi itu semua. Mulai sukses wawancara dengan MK Tajuddin, ketemu dengan Eva di kampus, juga saya bisa hunting dengan teman di bandung. Tiba-tiba saja ia muncul di hadapanku. Saya belum tahu seperti apa sosoknya?

Garis kehidupan ini bercabang-cabang. Saya baru saja mengalami itu. Segala kemungkinan bisa terjadi. Benar kata Paulo Coelho bahwa masa depan tidak bisa diprediksi. So, kita hadapi saja apa yang terjadi sekarang. Tetapi pertanda itu selalu ada. Hanya saja kita juga tidak bisa menebak dari setiap rentetan peristiwa yang terjadi di sekitar kita.

Setelah wawancara dengan Prof Tajuddin, saya tidak jadi ikut diskusi PBB. Lalu pergi ke kos Wasik. Yang bersangkutan tidak ada di tempat. Kembali ke kampus, tepatnya ingin ke kantor Online, malah ketemu Desi. Kemudian bersama-sama ke FDK. Eh di tengah perjalanan bertemu dengan Syarifah or Eva. Kami pun ngobrol ngalar-ngidul sampai lidah kelu. Kami akhirnya balik, ketemu Adi. Dia malah pinjam duit.

29 Januari 2005, 16:04

Minggu dengan wajahnya yang mendung datang. Gerimis kadang turun, kadang pergi. Saya hanya menanti pesan masuk ke telepon genggamku. Sebuah kata dari teman yang tidak kutahu seperti wujudnya. Tapi saya tiba-tiba bersimpati kepadanya. Karena kepolosan, ketulusan, dan kejujurannya. Yeni begitulah dia ingin dipanggil, walaupun dia biasa dipanggil juga dengan Marti. Entah apa bedanya. Marti khusus di kalangan tampatnya tinggal sekarang. Di sebuah rumah tempat mengabdi sebagai Babby sitter. Yani katanya panggilan di kalangan teman-temannya, baik cowok maupun cewek. Begitu lancarnya mulutnya bicara dalam bahasa sms bahwa dirinya seorang babby sitter dan sudah bertunangan. Dia tidak ingin berbohong lagi tentang dirinya.

Entahlah, ketika sms-ku dia tiba-tiba mengatakan itu. Saya takut dengan harga sebuah kejujuran. Malam kemarin dia juga bercerita panjang soal dirinya. Bahkan dia sempat menyudutkanku dengan pernyataan maafnya karena telah banyak bercerita soal pribadinya. Dan saya mana ceritanya? Yah, saya hargai kejujurannya dengan menceritakan saya dan keluargsaya, saya dan temanku.

Tapi tidak ada yang mendekam jauh di dalam dada, karena saya bisa cepat melupakan masalah dengan menenggelamkan pada hal lain. Saya tunggu sms darinya? Benar saja, sebuah pesan tiba-tiba masuk. Hanya pernyataan maaf karena semalam terlalu capek hingga ketiduran.

Minggu telah menghantarkanku pada alunan lagu yang indah. Buku Anna Karenina karya Leo Toltoyy habis kubaca. Kisah tragis seorang perempuan akibat cinta. Cintanya pada Vronsky mendamparkan dirinya pada penderitaan yang besar dari sebelumnya. Suaminya Karenin yang dingin tak mampu memberikan kehangatan sebuah cinta. Dan cinta yang hanya Anna dapatkan dari Vronsky, tentara dengan wajah tampan dan penuh simpatik.

Tapi akhirnya, cinta mereka yang terlarang mengantarkan pada situasi yang sangat sulit. Anna berpisah dengan anak hasil dengan Karenin, Seriosha. Hadir Ani hasil hubungannya dengan Vronsky. Namun hal tidak bisa mengobati rasa keteransingan dengan putra pertamanya. Sampai akhirnya, karena keterasingannya antara suami barunya dan anaknya, Anna memutuskan bunuh diri.

Terlalu panjang Minggu berjalan. Menjelang siang saya sengaja menyetel lagu Laskar Cinta, Dewa 19 yang baru-baru ini meluncurkan album barunya, Republik Cinta. Makan soto buatan Ibu, lalu melanjutkan dengan sedikit fitness. Saya merasa hari ini begitu lambat jalannya.

Gerimis yang dari semalam turun mulai reda. Saya mulai bisa menatap matahari. tapi saya merasakan hampa dalam jiwa saya. Siang selesai mandi, saya baca majalah Tempo lama. Pak Aziz datang bersama orang Enyak yang tidak saya kenali. Saya kembali menceburkan diri dengan bacaan majalah. Mata saya mulai mengantuk. Maroon masih mengalun rendah di telinga saya. Lamat-lamat suara dari ruang tamu mulai hilang. Saya terlelap.

Ingat Pak Aziz jadi ingat Eva. Dara Depok ini baru menancapkan statusnya sebagai mahasiswa UIN Jakarta tempat saya dibesarkan. Saya belum banyak bicara dengannya, tapi sedikit kuamati dia cukup energik. Satu semester yang dia lalui mulai membawa perubahan dalam dirinya. Mahasiswa sebagai pioneer perubahan harus kritis dan cerdas merespon persoalan di sekitarnya. Eva yang bernama Syarifah tidak terlalu cantik. Hanya dia memiliki nuansa oriental di wajahnya. Kulitnya yang putih, matanya yang sipit menyampaikan kesan itu. hanya saja saya tidak terlalu tertarik untuk mengharapkan lebih.

30 Januari 2006, 08:00 wib

Selamat pagi teman, kawan, rekan, sahabat dan semua. Saya berpikir bahwa saya harus lebih dari kemarin. Kualitas hidupku, pekerjaanku, utamanya lagi saya harus berbuat dalam tindakan nyata. Bagaimana yang saya miliki bisa berkembang terus tanpa kejumudan. Kenapa saya senantiasa berhenti pada satu titik dan tidak lagi beranjak pada realisasi. Susah jika saya masih seperti ini.

Maka ketika saya nyatakan saya harus lebih baik dari hari kemarin, maka saya bingung apa yang harus saya perbaiki. Selama ini saya tidak memiliki agenda yang bisa dievaluasi, dikritisi, dan diperbaiki untuk ke depan. Saya berjalan seperti adanya, tanpa membuat rencana. Coba kita lihat, Minggu hanya di rumah. Nonton TV, baca buku, fitness, seperti biasa menulis catatan harian berupa unek-unek pribadi. Kualitas apa yang harus lebih baik dari kemarin, apa saya harus membaca lebih banyak buku dan lebih banyak menulis catatan harian.

Dua hari lagi, umat islam akan mengganti kalender barunya. Dua hari lagi merupakan tahun baru islam. Jika kemarin di seluruh kota dihiasi dengan warna merah menyala, mungkin di berbagai tempat akan terdengar ceramah, suara beduk, rebana dan nuansa islam lainnya. Benyak berharap tahun baru hijrah betul-betul menjadi momentum yang mampu menggetarkan nilai keberislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan. Apalagi tahun baru islam seiring dengan tahun baru imlek. Kejayaan negeri china dapat bersinergi dengan bangkitnya kejayaan islam pula.

02 Januari 2006, 22;00

saya masih terdiam ketika suara itu terus memanggilku. Saya tahu ini hanyalah main-main saja. Tidak ada yang serius.

05 Januari 2006,

Siapa yang tak pernah hatinya resah? Pasti semua orang merasakannya dengan berbagai alasan, bukan. Resah biasanya melanda hati kita saat sesuatu yang kita inginkan tidak tercapai. Bisa juga harapan, impian dan perasaan kita pada seseorang tidak mendapat respon yang positif. Hal itulah yang lantas ketidaktenangan melanda hati kita. Lambat laun kemudian resah.Peristiwa seperti ini cukup manusiawi. Keadaan yang melekat dan hidup pada tiap diri. Malahan, jika tak pernah ada rasa itu, bisa dibilang ada yang janggal dalam kehidupan kita.

Kenapa bicara soal resah ya? Hari minggu ini, ketika buliran embun menyelimuti pekaranganku, saya merasakan sepi di hatiku. Sepi yang lalu menimbulkan keresahan. Di Minggu ini saya berharap ada jawaban dari pesan singkat yang kukirimkan semalam. Entah penolakan atau penerimaan. Bahkan hingga sore ini, masih kunanti jawab itu. Ya ini soal perempuanku. Bukan kekasih hanya teman belaka. Kebetulan saya mengajaknya ketemu.

16 Februari 2006

Ingin kembali saya menjadi manusia yang menulis. Membeberkan beragam persoalan dari perspektif yang berbeda. Hari ini saya menjatuhkan diriku dalam kawah percobaan. Entah, tapi saya hanya ingin menyatakan hidup ini menyimpan misteri. Baru saja Dyta dan Icha balik ke Malang. Saya hanya ingin mengenalnya dari sudut yang berbeda dari orang lain memikirkannya.

Pernah nonton Snow Hall? Ya saya harus melihat inner beuty tiap orang.

12 Maret 2006



Hujan mengguyur bumi. Geledek sambit menyambit di langit. Ah, minggu sore di bulan Maret mengharukan hatiku. Saya merindukan kehidupan yang terjadi pada film Sassimy Gilrs, Shun Chun Yank. Entah, ceritanya begitu menyentuh, mengena dengan romantika yang terjadi. Cinta dan penderitaan suatu saat saling berkait, saling menhantam. Dari penderitaan tumbuh kebahagiaan dan tawa. Chun Yang berhasil melaluinya dengan amat menyentuh. Ah, payah kamu ini hanya menghayal kan! Mungkin, tapi ada sisi lain yang terkadang itu menjadi harapan. Bukan rentetan ceritanya yang berliku, namun akhir yang indah tersebut.

27 Maret 2006, 21:35 Diri yang Kalkulatif

Menata hidup seperti kita bermain puzzle. Menaruh mana yang sesuai dan cocok dengan cetaknya. Sebagaimana puzzle, begitu pula hidup kita. Kita selalu dituntut untuk menjadi diri yang kalkulatif. Langkah hidup kita tidak hanya sekedar melangkah, namun selalu memperhitungkannya. Mana yang bisa kita kerjakan sebagai prioritas, mana yang yang sekunder. Begitulah kita hidup selalu memilih dan memilah.

Jika AA Gym menyebut sebagai manajemen kalbu, maka ini manajemen hidup. Ada planning jangka pendek dan jangka panjang.Terkadang diri kita menjadi seorang yang reaktif terhadap lingkungan sekitar. Tiba-tiba saja kita ingin itu dan itu karena sekedar ada penawaran. Kemudian tanpa piker panjang kita merespon tanpa melalui tindakan kalkulatif diri. Apalagi hal tersebut hanya didasari atas coba-coba. “Saya hanya cari pengalaman.”

Selfi, ya Selfi seperti nama-nama perempuan lainnya. Malam itu ia datang sebagai teman dari teman saya, Adi P. Tapi, selalu saja, nama-nama hanya melekat sebentar. Seperti derap angin yang hanya mampir di beranda, kemudian melenggang terbang. Selfi, saya tak sempat bertanya nama panjangnya.

Tapi, malam itu dia memulai dengan sebuah keakraban yang indah.Senyum yang tersimpul jadi pertanda keakraban. Tapi terkadang kita harus memasang diri untuk bersikap awas terhadap sesuatu yang baru, yang baru kita kenal. Tak selamanya yang akrab tanpa misteri. Bahkan, bagi siapapun sesuatu yang baru bisa menarik untuk makin mengenal.Keakraban. Pertanda bahwa sekat pembatas mulai memudar. Tidak ada lagi resonansi yang bisa menghambat sifat komunikatif kita. Keterbukaan dan saling berbagi.

Selfi, sebuah predikat dengan banyak asumsi banal. Mahasiswi pemikiran politik islam ini hanyut dalam sebuah perumpamaan. Tanpa menyeruput teh hangat, bibirnya bicara soal rasa dan kepedulian. Saya tahu, teman saya hanya berkepentingan duduk di hadapannya. Bukan soal mencopi sebuah buku, tapi ingin mencari arti sebuah kedekatan dan keakraban. Acap kali kita memulai pertama dengan sebuah pandangan. Kepada Selfi, entah apa yang terdetik saat saya bertemu dengannya. Namun saya ingin mengingatnya sekedar sebuah nama indah. Yang sebentar lagi akan lekang dengan waktu. Dengan menyebut namanya, Selfi, seperti saya mengenal diri saya sendiri.

Saya seruput es teh. Dinginnya menjalar setelah akhirnya saya harus berpamit pulang. Malam makin kelam. Di langit bintang terus menguntit.

29 Maret 2006, 19:35 wib

Sore itu, di tengah gemilang matahari di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta melangsungkan sebuah pesta demokrasi meski tidak ramai, pemilihan dekan. Hasilnya, Abdul Chair berhasil meraup suara telah. Seperti balap sepeda, dia telah lama finish. Sedang rivalnya hanya berdiri di garis start. Bayangkan, ketika yang hanya memperoleh dua suara, Chair telah mengunmpulkan 55 suara. Chair pun menang. Dia adalah dekan terpilih FAH periode 2006-2010. Selamat!Lantas apa setelah menang? Adakah pesta digelar untuk merayakannya.

“Syukur itu penting, bukan karena menang, tapi hanya bersyukur,” katanya.

Kemenangan dengan sepikul beban amanat untuk menyinarkan ke-adab-an, tidak hanya di UIN Jakarta, nasional bahkan internasional. Chair tersenyum ketika tahu dirinya mendulang kemenangan itu. Kita hanya bisa menebak, mungkin gembira, mungkin duka cita, karena dia maju bukan berangkat dari itikad baik. Chair maju karena proses kaderisasi sebagai kader umat dan bangsa.

30 Maret 2006, 20:55 wib Manusia yang Rekreatif

Kita, manusia yang rekreatif, bukan! Kita selalu ingin memiliki waktu jeda untuk rehat. Untuk berhenti dari rutinitas. Saat hari yang rekreatif tiba, maka kita selalu akan menyambutnya dengan gembira. Seperti pada Kamis di akhir Maret, sebuah rekreasi ke Kebun Binatang, Monomen Nasional dan Masjid Istiqlal dilakukan.

Kurang lebih 20 orang yang ambil bagian dalam vakansi ini. Saat hari mulai menapak panasnya di bumi, mobil APV melaju di sebuah jalan raya. Angin berhembus kencang mengejar waktu yang makin siang. Yang tertuju sebuah kebun binatang Ragunan. Entah apa yang terdetik di pikiran kita ketika rekreatif tersebut terbuka. Keramaian ada. Tangisan menggema disertai peluh yang asin. Panas tak mengenakkan, tapi rekreatif harus terpuaskan.

31 Maret 2006,15:15 wib

Cuti ini bukan ikut-ikutan Hari Cuti Nasional yang ditetapkan pemerintah. Tetapi karena terlambat bangun. Akhirnya ikut cuti bersama dengan tidak masuk sekolah. Masalahnya bukan ikut-ikutan cuti, tapi bagaimana kita mengartikan bersekolah.

Olis, sebuah nama dengan tergesa dan hati ngedumel turun di sebuah tangga yang curam. Saat itu matahari terpejam sehingga sinarnya tak menampak. Sedangkan jam di dinding menunjuk pukul 06.30. Ia ingin segera sekolah, tapi waktu mengajaknya kompromi untuk tidak masuk dulu. Karena percuma jika harus berangkat, terlambat dan pulang. Olis lantas marah dan mangkel.

Entah kepada siapa ia marah. Pada Mamanya yang tidak membangunkan – padahal ia telah kelas II SMA, waktu yang sengaja melenakan, atau mengutuk dirinya sendiri, kenapa tidak dinyalakan weker? Sudah. Tapi ia tidak bangun. Dadanya sesak. Ia berlari menaiki tangga, pergi ke kamar dan menumpahkan kekesalannya dengan menangis.

Dulu, saya pernah mengalami seperti yang dialami Olis. Keras hati untuk masuk sekolah meski terlamat, hujam lebat dan sakit. Olis mungkin akan dipuji karena ia tampak rajin. Baik oleh guru dan teman-temannya. Akhirnya, ketika ia ketahuan tidak masuk kelas karena terlambat, mungkin Olis akan menutup mata, malu. Hal ini sama seperti yang saya alami. Saya selalu dibilang rajin karena tidak pernah absen dalam proses belajar di kelas.

Bagaimana jika kasus Olis ketahuan Paulo Freire, tokoh pendidikan liberal Prancis. Mungkin ia akan geleng-geleng kepala, ketundukan Olis untuk terus masuk sekolah bukanlah buah dari pendidikan. Tapi dari sebuah hegemoni cultural. Jika itu yang terjadi, sekolah berarti gagal memberikan sebuah arti pendidikan pada Olis. Lumrah jika Freire mengarang sebuah Deschooling karena sekolah tidak lagi menjadi berkecambahnya makna pendidikan itu sendiri.

Siawa harus memahami arti penting hidup ini. nilai-nilai humanis tumbuh tanpa ada pemaksaan dari luar dirinya. Jika yang kita lihat sikap represif sekolah dalam bentuk siksa mental pada sang muris, mending tersebut dibubarkan.Kita tahu segala sesuatu dari mana? Karena kita membaca. Apa peran guru di sekolah? Mereka hanya menjadi katalisator terjadinya tranfer ilmu. Kita tahu segala buka karena guru dan sekolah. Semua itu hanya media. Sekolah, untuk mengukur tingkat kedisiplinan siswanya menggunakan berbagai aturan ketat. Ada sebuah rangking. Entah, apakah bentuk kedisiplinan tersebut adalah sebentuk dari pendidikan pula?