27 November 2008

Sang Pencari; Sebuah Catatan Harian 2



Tahun 2007 telah jauh menusuk jantung yang sangat purba dalam diriku. Sekarang Mei yang sendu. Bahkan gelayut sendu itu telah dimulai sejak awal tahun. Kini aku selalu berjalan dalam kehampaan. Aku makin lelah mengejar keinginan yang tak pernah tercapai. Tapi keinginan adalah sumber penderitaan.

Sejak April aku merajut perjalanan yang tak pernah kusangka sebelumnya. Berkubang dengan perjalanan yang penuh dengan labirin. Aku mulai bersentuhan dengan tubuh, dengan payudara, dengan vagina dan dengan tetek segala tetek bengeknya.

Aku kehilangan prioritas dalam perjalanan mimpiku. Aku terpesona dengan pulau yang sementara kusinggahi. Sedang perjalananku masih teramat panjang. Aku masih harus melihat kompas karena dermaga cita-cita masih tak tampak. Aku memang harus memilih. Ah, selalu aku gagal dalam menguhkan komitmen. Frustasi, brengsek, tai kucing. Dadaku menggelegar. Aku terus berkubang dengan mimpi-mimpi. Semu dan fatamorgana.

Aku ingin bernyanyi dalam gelap dan sepi. Aku ingin berteriak keras. Aku ingin mengutuk diriku sendiri. Aku ingin manampar wajahku yang tak pernah melihat ke bawah.

14/6/2007

Selalu saja aku melupakan menulis. Aku melupakannya disebabkan gairah yang makin mengurang akibat eskalasi percaturan hidup yang makin besar. Di rantau segalanya dipertaruhkan atas survival. Jika tidak, mungkin aku akan menjadi sampah masyarakat. Tidak berguna dan hanya menjadi pelengkap kesemrawutan hidup. Lantas, segalanya harus dilalui dengan kecemasan dan kekhawatiran.

18/6/2007

Aku mencoba merangkai kata tapi tak pernah utuh. Logikaku terpatah-patah. Aku putus asa. Yah, tapi aku harus menulis lagi dan menulis lagi. Catatan ini mungkin menjadi penghancur kebekuan itu.

Satu masalah kenapa aku tak bisa merangkai kata dengan baik adalah wawasanku yang tidak menyeluruh. Aku hanya ingin menulis dari apa yang aku tahu. Kadang ini yang menghambat aku untuk menulis. Tahukah kamu bahwa aku ingin hidup dengan kata-kata, dengan tulisan yang bisa dibaca oleh semua orang. Agar mereka tahu kesepian hati, kerinduan jiwa, dan dendam yang membara.

Belakangan ini aku selalu tidak focus. Mungkin kesekian kali aku nyatakan dalam tulisan ini. Tak apa. Aku hanya ingin menghela nafas dalam-dalam. Melepasnya ke udara sehingga segala duka dan resah terbang bersama angin.

Bila aku sendiri, merenung, maka aku mendapati kenyataan aku selalu kalah dengan diriku sendiri. Ya, musuhku dalam meraih kesuksesan bukan disebabkan factor luar, tapi itu datang dari dalam diriku. Mulai komitmen diri, tidak focus, dan rasa kurang percaya diri. Aku selalu mencoba untuk bangkit tapi kemudian terhempas lagi. Aku bangun lagi tapi tidak pernah belajar dari kesalahan yang lalu itu. Obsesiku sekarang adalah melanjutkan kuliah S2.


7/7/7

Angka yang keramat. Begitulah kata orang. Sehingga pada hari itu semua melaksanakan hajatnya. Ada yang menggelar pernikahan, selamatan, dan juga berwisuda. Ke kampus UIN hanya megucapkan kata selamat kepada mereka yang telah mengenakan topi sarjana.

Dalam ilmu komunikasi, jika ada gangguan dalam proses pengiriman pesan maka yang terjadi adalah miskomunikasi. Kiranya seperti itulah yang terjadi pada Ustad Mustaqim. Ia datang karena adalah salah informasi soal pengajian. Pesan yang sampai tidak jelas. Akhirnya ia pulang kembali, mungkin, dengan rasa kecewa yang ia pendam sendiri dalam hati. Tak mungkinlah jika harus dilontarkan karena ia ustad; sosok agamis yang menjadi figure yang selalu mengajarkan soal etiket dan kesabaran. Bangsat, cuacuk!!!!

8/7/7

Minggu, alhamdulilah hatiku begitu damai. Tadi pagi aku mimpi basah, lalu mandi dan berdoa. Aku bedoa untuk semua orang. Aku ada dan eksis karena mereka. aku mungkin tidak tersebut sebagai manusia jika tidak ada mereka. aku yang personal kemudian menjadi mereka yang komunal, maka lahirlah umah. Dalam Quran ditegaskan, bahwa umat yang terbaik adalah yang menyeru pada kebenaran dan semaksimal mungkin jauh dari sifat jelek dan buruk. Sebelum melepas sarung aku bisikan doa lagi dalam duhaku.

Seharian tidak beranjak dari halaman rumah. Karena kebetulan tidak ada agenda, Katib main dari tadi malam. Aku hanya ngobrol dengannya hampr sepanjang waktu. Ngomongin apa saja.

8/8/7

Hari ini Pilkada DKI Jakarta. Hasil penghitungan cepat memenangkan pasangan Fauzi Bowo-Priyanto. Incumbent tak bisa dibendung. Selain modal sosial, Foke juga modal kapital yang besar. Apalagi mereka mendapat dukungan dari 20 partai politik. Inilah realitas perpolitikan kita dewasa ini. Apapun hasilnya, saya sebagai warga negara berharap bahwa pasangan terpilih harus memberikan perubahan yang mengarah pada kebaikan warga Jakarta. Terlepas masih tingginya angka Golput. Pelaksanaan Pilkada harus terus dievaluasi. Karena yang ada sekarang jauh dari harapan.

12/8/7

Ketika aku ingat Seno, maka aku ingat senja. Seperti saat ini aku menanti senja. Saat dimana aku merasa segalanya tak bisa disentuh. Semua menjadi bayang-bayang. Kadang aku hanya diam. Merasakan kehampaan yang menyentuh. Di sanalah waktu transisi. Ada yang berkemas untuk menuju waktu yang lain, yaitu malam. Ya, kadang hidup perlu obesesi. Perlu kenakalan. Perlu yang keluar dari pakem. Tapi ada kalanya tetap di rel yang telah disediakan.

Menekuni buku yang membosankan. Diam. Membiarkan waktu berlalu saja. Hampa. Begitulah hari-hariku. Melewatkan pagi. Membiarkan matahari meninggi tanpa kupandangi warnanya yang cerah. Dan mungkin aku menanti senja yang sebentar lagi datang. Duduk di balkon meraup warnanya yang keemasan. Ah. Tiba-tiba aku ingin terbang ke matahari itu. Bermain dengan sinarnya yang membuatku menguning. "Sayang, tahukah kamu aku ingin kita duduk bersanding dengan latar matahari terbenam. Ya, kala senja itu," kata lelaki dengan rambut ikal tebal pada perempuan yang bersender di dadanya. Ya kata ini aku buat karena aku tahu Seno ingin membuatnya. Seperti sepotong senja untuk pacarku.

18/8/7

Sebuah kesadaran diri menjadi pijakan awal dalam memandang dunia. Eksistensilisme dikukuhkan sebagai jawaban bahwa diri itu eksis dan memiliki kekuatan besar dalam perubahan. Aku sadar, kesadaran akan sejarah sangat penting sebagai pijakan untuk melangkah. Kemarin hari kemerdekaan bangsa ini diperingati. Upacara hingga kemeriahan lomba-lomba. Merdeka!

Sudahkah kita merdeka. Pertanyaan yang sulit terjawab. Tujuan perlawanan awal terhadap imperialisme adalah tercapainya cita-cita keadilan dan kesejahtraan rakyat. Namun sejarah yang kita tahu adalah sejarah-sejarah penghianatan terhdap cita-cita itu. Soekarno juga harus jatuh demi terjadinya perubahan demi perubahan. Namun peralihan kepemimpinan ke Soeharto tak jauh beda. Rakyat tertindas dalam kekuasaannya. Penghianatan terhadap perjuangan terus terjadi. Orang-orang yang berteriak lantang terhadap penindasan dan ketidakadilan sistem diam. Mereka lebur di tengah pusara kekuasaan.

Hingga sekarang, setelah 62 tahun merdeka, masihkah kemerdekaan telah kita raih. Banyak orang yang tak bisa menjawab. Entah, tapi mata mereka berkaca-kaca. Kesulitan hidup makin getir. Anak-anak banyak tidak sekolah karena biaya pendidikan mahal. Anak-anak kurus kerempeng karena kekurangan vitamin. Di beberapa tempat mereka berebut beras, minyak tanah dan minyak goreng. Apakah kita sudah merdeka?

Lengsernya Soeharto menjadi awal kembali tercapainya cita-cita keadilan sosial. Namun, era yang dikenal Reformasi ini belum mampu menyelesaikan akar dari permasalahan. Pembangunan yang terus dilakukan tidak merata dan hanya memperkaya sekelompok orang. Ihtiar perjuangan dan semangat kebangsaat teredusir oleh kepentingan-kepentingan sektarian. Persoalannya melulu berdebat soal warna partai dan kelompoknya. Capek deeh! Dan Gie, sosok yang harus berjuang sendiri dan tanpa teman dan harus mati dalam sepinya alam. Gie selamat jalan, aku doakan apa yang kamu lakukan menginpirasi semua orang untuk mengikuti jejakmu. Tanpa pamrih kecuali demi dan untuk rakyat.

Setelah reformasi mati suri, apa lagi? Masih kita berharap pada perubahan. Perlawanan harus terus didengungkan. Tidak ada kata berhenti. Jika penghianatan pada cita-cita sosial terus terjadi, maka perlawanan akan perubahan harus bergulir. Tidak peduli siapapun presiden dan apapun partainya. Indonesia milik rakyat yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Jangan sampai Indonesia terkapling dan terkotak dengan kedaerah dan kepartaian.

19/8/7

Semalam adalah malam karaoke. Cukup ramai. Di akhir acara anak-anak bergoyang. Beberapa kulihat sebagai ekpresi diri. Yeni 1 nyanyi kucing garong. Ceweknya Dani suaranya merdu. Yeni 2 nyanyi lagunya Bunga Citra. Suaranya merdu. Aku pikir dia sering karaoke atau memang dia kerja di tempat karaoke. Sama dengan Irvan. Dia memang sering karaoke, entah di mana, sekarang karaoke menjamur di mana-mana sebagai bentuk gaya hidup baru masyarakat atau bentuk rekreasi keluarga.

Jamal malam itu deketin Rina. Entah sebagai Kakak atau teman. Aku kira banyak yang melihat itu. Ah, aku tak peduli. Tapi malam itu aku tidak lepas. Aku tidak menjadi diriku. Tahukah kamu jika aku ingin dilihat orang. Aku muak.

20/8/7

Aku baca Gie. Idealismenya tinggi. Tapi sayang dia mati muda. Tapi takdir itu yang dia inginkan. Aku sebenarnya ingin lebih detail tahu soal hubungannya dengan beberapa wanitanya. Maria-Rina-Sunarti. Ya, dia tidak pernah menemukan cinta platoniknya itu. Dia dicintai sebagai out-group tetapi tidak in-group. Terlalu beresiko bagi keluarga mereka. Begitulah, Gie harus meninggal ketika semua orang menjauh.

23/8/7

Hari tak pernah sama. Selalu ada kesempatan yang dilewatkan begitu saja. Kecuali kamar yang pengap, kasur yang kusut dan hujan yang selalu datang pada setiap sore. Suasana hatiku juga berubah-rubah. Sama seperti hari yang tak pernah sama. Menghabiskan malam dengan nonton bola.

30/8/7

Perubahan terus terjadi. Umur berkurang. Kematian terus menghampiri. Namun adakalanya kita tidak menyadri hal itu. Kita terlena dengan keadaan yang seolah-olah sama. Padahal setiap detik perubahan terjadi. Tidak da yang sama dari yang kita rasakan. Perubahan itu mengalami siklus yang berputar-putar. Seperti kata Parmenides, setiap kita turun ke sungai apakah itu adalah air yang sama? Begitulah, kita mesti hati-hati dan mawas diri. Melwatkan perubahan sedikit mungkin kita telah menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut berubah. Coba kamu renungkan, resapi, bagaimana partikel dalam tubuh dan sekitar terus bergerak. Artinya tidak ada kata diam dalam hidup. Bergerak dan bergerak adalah jawaban dalam menekuni perjalanan hidup ini. Tidak perlu ada kecewa, kecil hati dan pesimis jika kita terus dengan konsistensi yang tinggi. Karena pencapaian cita-cita merupakan akumulasi dari konsistensi gerakan yang kita lakukan.

3/9/7

September yang letih. Jalan makin terjal. Kesanku masih sama dengan Agustus. Aku makin tidak nyaman tinggal di rumah ini. Ada beban piskologis meskipun ini rumah kakakku. Dua tahun sudah aku lewati. Tapi seberapa besar aku telah berikan sesuatu kepada mereka, baik berupa materi maupun non materi. Yah apalagi aku tak kerja sekarang. Aku ingin segera keluar dari rumah ini.

4/9/7

Begitu banyak hal kecil di sekitar kita yang luput dari perhatian. Kita Menganggapnya hal biasa. Padahal jika direnungi akan timbul kesan mendalam. Misalnya soal perbedaan. Begitu tampak bagaimana perbedaan mengelilingi kehidupan kita. Namun perbedaan itu tidak menimbulkan cekcok. Bahkan dari sanalah bahwa perbedaan, keragaman corak dan karakter saling menjalin membentuk harmoni sosial.

Syukur. Kata yang pantas aku ucapkan di setiap tarikan nafas. Syukur bahwa hingga detik ini aku masih hidup dan sehat. Berapa banyak orang yang telah mati pada detik ini juga. Dan betapa banyak pula orang-orang yang sakit di detik yang sama. Aku bersyukur karena masih duduk dan mengetik depan komputer. Aku bersyukur karena tadi olah raga dan sarapan. Aku bersyukur aku memnyimpan harapan besar untuk masa depanku. Tak perlu keluar kata umpatan dan sesal dengan kenyataan sekarang. Tidak ada masalah dalam hidup. Karena kita sendiri yang membuat masalah itu.

Selasa yang menyembulkan kesadaran baru dalam hidup ini. Menginspirasi untuk terus maju dan melangkah meraih mimpi yang kerap ganggu tidurku. Betapa aku sering bersikap konyol dengan diriku sendiri. Tak tahulah. Aku hanya ingin berbuat yang terbaik bagi siapapun termasuk untuk diriku sendiri. Termasuk kepada Bangsa ini, Indonesiaku. Namun Ibu Pertiwi meradang sekarang. Keadilan dan kesejahteraan yang didamba tak kunjung datang. Sejarah bangsa ini adalah sejarah penghianatan terhadap cita-cita luhur bangsa. Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi belum mampu sejahterakan rakyat. Ada persoalan mendasar yang tak terselesaikan dari pra kemerdekaan hingga saat ini. Yaitu niat dan itikad untuk menjadi negarawan sejati.

29/9/7

Tadi buka bersama keluarga di saung telaga sekaligus merayakan HUT Sifa ke-6. suasananya ramai. Bahkan tidak hanya Sifa yang, tapi di meja sebelah sama ngadain ulang tahun. Bahkan, di beberapa meja selepas buka acara tiup lilin ini juga digelas. Senandung lagu ulang tahun terdengar.

Sebenarnya hari ini aku diundang buka bersama pak Edi Budiono. Tapi aku malas, karena harus datang sendiri. DH Ismail tidak merespon dengan baik.

Aku bagian yang muda dengan pandangan jauh ke depan. Pandangan dengan melepaskan segenap egoisme kepentingan jangka pendek. Bahwa, terjun dalam dunia profesionalisme hanyalah alat untuk bergerak lurus di garis perjuangan. Aku mencita-citakan terbentuknya masyarakat adil sejahtera. Penyelenggaraan pemerintahan yang memihak kepada pembangunan kemanusiaan. Ah, ini mungkin terlalu platonik. Karena sebenarnya aku harus tetap berdamai dengan kenyataan hidupku. Aku tetap butuh uang untuk bertahan hidup di Jakarta.

7/10/7

Menjelang hari yang fitri, kesibukan mudik terasa di mana-mana. Tv dan koran ikut menyemarakkannya. Bahkan media menyediakan ruang khusus mudik. Ya mudik merupakan fenomena ilahiah. Ada rasa kerinduan yang mendalam ketika lebaran tiba untuk pulang kampung. Sebuah tradisi yang menyemai nilai-nilai ketuhanan yang sungguh luar biasa menyentuh bagi setiap insan. Beberapa teman telah mudik. Aku sendiri dua hari lagi baru mudik.

Introspeksi. Itulah yang harus aku lakukan sekarang. Pulang kampung adalah untuk menambah energi baru, menyemai semangat untuk berjuang di rantau. Aku ke Jakarta berarti aku hijrah dari kampungku, Madura. Apa tujuannya, tentu sebuah perubahan status sosial, dan yang lebih penting adalah perubahan pola pikir dari pariperi ke kosmopolit. Ya, begitulah aku harus mudik tahun ini meski harus berdesakan dengan ribuan pemudik lainnya.

Mengerti arti hidup dan perjalanan ini menjadi penting untuk merangkai langkah ke masa depan. Ada yang mengatakan sukses itu harus disiapkan dan direncanakan. Karena itu aku harus mulai dari sekarang dan tidak ada kata nanti. Apa obsesiku? Mulailah untuk sibuk. Jangan ada kata diam. Karena dengan diam, maka kita berhenti merajutnya. Dan itu artinya menutup peluang untuk sukses.

Rahman, mengertikah kamu akan konsep diri? Seberapa jauh kamu kenal diri kamu sehingga kamu betul dekat. Seperti dekatnya nafasmu sendiri. Ayolah, jika kamu sudah mengenalnya, kenapa kamu seperti ini? Aku katakan ini, karena diri kamu labil. Banyak anasir-anasir instan yang tumbuh dalam otakmu. Coba petakan masa depanmu dan bagaimana meraihnya.

9/10/7

Akhirnya, aku mudik tahun ini. Merasakan suasana haru di kampung halaman bersama paman dan bibi. Karena orangtua dan keluarga ada di Jakarta. Rencananya aku mudik bersama temanku bernama Olis dengan naik kereta api pada Kamis besok. Aku tahu mudik pada H-2 mungkin beresiko dengan berhimpitan dan berdesakan. Tapi, aku lebih memilih pulang dengan jalan karena ongkos bis terlalu mahal. Tiketnya tak terbeli. Begitulah, aku bergarap ini semua tidak akan mengurangi suasana lebaran nanti.

Tadi siang ke Plaza Depok. Beli celana jeans pesanan Robi. Mintanya celana dengan model robek-robek. Susah sekali, sekali ada harganya mahal. Aku berpikir dua kali untuk membelinya. Tapi kemudian, aku belikan saja yang lebih murah. Sebab, aku kepikiran ketika pulang tanpa membawa apa-apa. Kemarin, sebenarnya aku telah beru jika celananya mungkin tak terbeli kali tapi lain waktu. Tapi rasa tidak enak terus menggelayuti pikiranku. Ya, lebaran itu merupakan kemenangan. Dan aku tidak ingin merusak suasana itu.

16/12/2007

Perhimpunan Jurnalis Indonesia atau PJI menjadi tempat baruku menatap masa depan selain di Majalah VISIKITA. Kesemuanya itu adalah untuk media refleksiku menghadapi dunia ini. Aku sadar ini terminal akhirku untuk menempa diri. Bukan berarti ini akan menjadi tujuan akhir, tetapi aku harus berhenti dulu untuk berpindah-pindah tempat. Apapun yang terjadi, aku ingin tetap di PJI dan VISIKITA.

Kali ini hanya menggawangi portal PJI. Menjadi wartawan sekaligus mengupload data di PJINEWS.COM itu. Tak apalah aku hanya mengambil jaringan para jurnalisnya itu. Untuk media menulis aku akan tetap harus kembangkan sendiri.

Hari-hariku mungkin tidak akan ada di depan komputer ini. Aku akan lebih banyak di depan komputer PJI. Ya, karena aku tidak lagi di rumah ini.

Tidak ada komentar: