27 November 2008

Sang Pencari; Sebuah Catatan Harian

02 Januari 2006, 22: 48 wib

Selalu saja inginkan perubahan ketika memasuki tahun yang baru. Untung masih memiliki keinginan daripada tidak sama sekali. Sebab keinginan untuk menjadi lebih baik adalah sebuah keniscayaan yang musti tertanam kuat. Meskipun nantinya, keinginan untuk berubah tidak terlaksana.

Begitu pula di tahun 2006, banyak resolusi yang ingin diperbaiki dari 2005 lalu. Tentunya, 2006 diharapkan menjadi momentum untuk perubahan mendasar. Seperti dikatakan tajuk Kompas bahwa 2006 merupakan tahun pembuktian. Jika ingin berubah, maka peganglah komitmen itu. Sejak dua hari bergulir dari tahun 2005, untuk pribadiku belum ada perubahan signifikan.

Padahal sejak terompet dibunyikan, sejak itulah umurku juga bertambah. Saya bukan yang dulu lagi, saya adalah yang sekarang dengan berbagai tantangan dan harapan. Maka perubahan, resolusi yang saya katakan, mau tidak mau harus terjadi. Jawabannya adalah revolusi diri. Membaca kembali file kehidupanku yang lalu merupakan cara mengungkap rahasia yang terkandung dalam diriku. Berapa besar potensi yang saya miliki untuk melalukan perubahan. Dengan menatap ke masa depan, saya ingin memancangkan bendera harapanku. Saya ingin menjadi lebih memahami siapa diriku ini. Lebih mendalami perjalananku di bumi ini. Saya baru meneguk setetes tanda-tanda pengetahuan.

Resolusi baru, persepsi baru, pengetahuan baru dan hal-hal baru lainnya menjadi puncak pencapaianku di musim 2006 ini. Hidup yang dilingkari waktu terus saja berlari meninggalkanku. Semakin saya tidak peduli dengan waktu, maka akan makin tertinggal jauh. Bahkan percepatan teknologi modern makin menghilangkan sekat wilayah. Maka modern mengidealkan kecepatan tetapi bukan kesayaratan. Kini saya mencoba bagaimana dua hal tersebut bisa kugapai dengan maksimal. Apa sih bentuk konkritnya? Saya hanya memulai dari dalam diriku, yaitu mengatur waktu untuk berpikir maju. Kita diselimuti dengan waktu. Maka kita harus mampu mengaturnya, buka kita yang diatur waktu. Time is money kata orang inggris. Waktu bagaikan pedang kata orang arab. Semuanya menyiratkan bagaimana waktu begitu dihargai luar biasa. Maka hal penting yang harus saya lakukan di awal tahun ini adalah bagaimana waktu menjadi milikku.

Dari waktu bisa beranjak pada resolusi lainnya. Saya bisa mulai menulis dengan waktu yang saya miliki. Dari 24 jam yang ada, berapa jamkah kugunakan untuk menulis? Tentu menulis tidak hanya sekedar sebagai hobi, tetapi sudah menjadi professional. Waktu yang kita tetapkan harus diikuti dan ditaati. Komitmen pada apa yang ditetapkan olehku sendiri.Selain itu, dengan waktu yang saya miliki, saya pun bisa membagi untuk beranjak pada dunia lainnya. Jika menulis sebagai kerja profesional, maka masuk pada dunia yang lebih professional adalah bergabung dengan penerbitan majalah, maupun tabloid. Saya masih ingin mencintai dunia ini. Namun lantas tidak berarti saya menjadi sosok yang idealis. Saya juga ingin membangun bisnis. Saya ingin memasuki dunia di mana uang berharga. Apapun jenis usaha tersebut, yang penting orientsinya adalah profit.

03 Januari 2006, 19:25 wib

Perlahan tapi pasti perubahan harus terjadi. Hanya satu kata untuk sebuah perubahan, keberanian. Mentalitas ini terkadang sulit ditumbuhkembangkan, karena persoalannya ada dalam diri kita sendiri. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya kita takut melangkah, takut menentukan tindakan. Padahal kita belum tahu efek dari tindakan tersebut. Bisa memiliki peluang besar, namun di sisi lain memang belum saatnya untuk meraih kemenangan. Lantas apakah itu akhir dari pencapaian cita-cita kita. Tidak ada yang menjamin jika itu adalah kegagalan. Namun jika tidak pernah dicoba, maka kita tidak akan belajar dari pengalaman kegagalan yang lalu.

Menumbuhkan jiwa wirausaha menjadi sangat penting. Apalagi bekal ini berupa cara pandang, persepsi, bahkan mental dalam menghadapi percaturan global. Menjadi kreatif dan inovatif merupakan yang penting ditanamkan kepada siapapun. Sehingga ketika selesai dari kuliah, mereka tidak menambah barisan pengangguran. Harusnya mereka diorientasikan menjadi pembuka lahan kerja (job creator) bukan pencari kerja (job seeker).Saya merasa terjadi perubahan dalam cara pandangku tentang masa depan ini. Bagaimana pun jiwa entrepreneurship memang harus membatin. Menjadi penulis professional kiranya bisa memulai langkah ini.

Oh ya, setelah ini saya ingin curhat soal Nenk, teman dekatku saat ini. Apakah kedekatan hubungan identik dengan pacaran. Saya kira persepsi ini tidak seluruhnya benar kan. Kasusku bisa dijadikan contoh. Terus terang, saya sebenarnya menciptakan ketergantungan pada Nenk. Akibatnya, satu sisi Nenk lambat berkembang dalam soal tulis menulis. Sisi lainnya, hal itu berakibat kedekatan di antara kami. Sisi kedua inilah yang saya harus jaga agar tidak muncul persepsi lain. Bahwa sebenarnya, saya tidak ada hubungan special dengannya.

Namun jika bicara soal kelelakian (maksud loh) saya harus akui secara jujur memang ada sesuatu yang mendesir di dada saya ketika saya di dekatnya. Mungkin ini cinta atau sekedar nafsu. Tapi hingga kini, saya masih berpikir panjang, bukan karena dia tidak cantik dan manis. Namun, tahukah kamu bahwa saya memendam sebuah mimpi besar. Dan saya belum memastikan siapa yang akan mendapingiku untuk menggapai mimpi tersebut.

03 Januari 2005, 17:17 wib

kenapa saya ingin terus menulis, menulis dan menulis. Karena dengan menulis saya bebas, tidak ada larangan mau ngapain aja. Dari yang paling suci hingga paling tabu. Saya menemukan oase yang mampu menghilangkan dahaga saya terkait dengan eksistensiku. Ya, saya merasa menjadi manusia bahkan seperti disebut Nietsche sebagai manusiasuper. Menulis menjadi senjata perlawanan untuk menuju perubahan. Perlawanan itu bersifat silent, diam-diam, wacana, tetapi efektif untuk mempengaruhi orang.

Berapa banyak perlawanan dikobarkan lewat untaian pemikiran yang tertulis. Berapa inspirator gerakan memulai dengan membaca yang lantas menuliskannya sebagai propaganda. Jika mengingat kembali bagaimana penggulingan kekuasaan Soeharto karena peran pers yang cukup besar.

Ok, ini alasan kenapa saya ingin terus menekuni dunia penulisan dan kepengarangan. Dua hal yang berbeda walaupun sama menulis. Yang pertama condong pada dunia ilmiah, kerja-kerja yang mengikuti kaidah bsaya, bahwa tulisan harus sesuai dengan EYD, tidak fiktif, memiliki data valid dan sayarat. Sedang yang kedua lebih bagaimana si penulis mengarang-mengarang, membuat sesatu yang tidak terjadi bisa terjadi. Condongnya lebih pada fiktif, rekaan, dan imajinatif.

Sekarang saya ingat bagaimana resolusi 2006 ini harus terlaksana. Resolusi itu adalah saya harus menjaga komitmen untuk menulis. Memberi waktu banyak untuk membaca dan menulis. Pertama, skripsiku sudah beres. Kerjaan di UIN Online tidak perlu diforsir karena hanya sampingan. Mungkin baiknya saya focus pada perangkat yang harus dipenuhi ketika saya ingin sidang maupun wisuda. Seperti, beberapa mata kuliah yang hingga kini belum keluar, dan hal-hal terkait lainnya.

15 Januari 2005, 17:30 wib

Menjumpai pekerjaan yang monoton acapkali kita bosan. Merasa terjadi stagnasi dalam perputaran kehidupan kita ini. Selama kurang lebih lebih seminggu, saya bergelut dengan penulisan. Mulai menulis untuk berita di UIN Online, Bina Rohani, dan mengetik catatan kebudayaan Taufiq Ismail di majalah Horison. Duduk melototi layar komputer yang panas.

Namun di balik itu semua, ada hal lain yang tiba terasa indah dijalankan. Salah satunya kenikmatan dan kebahagiaan menulis di pagi hari. Ketika suasana hening menyelimuti kamarku, saat pikiranku segar, tanganku seakan bersinergi dengan pikiranku yang akan menuangkan ide. Namun efek negatifnya, saya juga merasa tubuhku makin membungkuk. Hal itu karena posisi dudukku yang kadang tidak tegak. Ada rasa nyeri dipunggung. Sekarang memang tinggal saya yang menjalankan. Saya sudah banyak membuat resolusi, bermimpi besar, tapi hingga kini saya hanya NATO, No Action Talk Only.

Ini menjadi tantangan bagaimana saya komitmen dengan pilihanku, dengan jalan masa depanku yang ingin saya rintis. Selalu berpikir logis dan factual. Dalam mengejar impian yang saya canangkan sekarang tidak terlalu muluk. Persepsinya memang harus ada pergeseran.

16 Januari 2006, 22:36 wib

Hari ini saya akan mulai lewat pagi dengan sinar menguning di halaman rumah. Kudengar deru motor lalu lalang. Saya tahu ojek yang mengantarkan penumpangnya berangkat. Saya masih malas di tempat tidur. Suara khas ibuku terdengar dari daun pintu yang terbuka sedikit. Setiap pagi, sepulang dia dari masjid berjamaan subuh akan memhampiriku dan menyaiku.

“Sudahkah kamu salat, anakku?” dan selalu saya menjawabnya dengan menhatakan, “Udah.”

Ya, saya berbohong padanya, pada orang yang kuyakini sebagai peri pelindung yang juga payung kasihku. Cepat saya bangun. kubilas muka saya dengan air. Kulitku tersentak karena dingin. Kulihat wajahku di kaca. Di sudut mata saya kulihat butiran putih. Segera saya bilas. Kamar mandi biru langit, pesing air kencingku, dan rasa kantukku yang menggumpal di mata saya. Pagi ini saya ingin mandiin kuda besi kesayangan. Hampir seminggu ia tak menyentuh air rumahku. Kecuali hujan yang belakangan ini mengguyur kota saya, menggenagi jalanan, hingga Jakarta kebanjiran.

Pengantar Koran membawa Koran pagi ini. Beritanya soal sarana transportasi yang melintasi jalur Sumatera. Akibat hujan banyak jalan berlumpur. Itu menyulitkan pengiriman bahan makanan ke beberapa daerah. Tentu ini harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Tidak seharusnya jalan utama yang menghubungkan berbagai kora di Sumatera terhambat karena jalannya rusak. Saya hidangkan secangkir the menemaniku membaca Koran pagi itu.

17 Januari 2005, 18:30 wib

Shoping untuk kebutuhan keluarga ceritanya. Tahu berapa habis duitnya, 70 ribu. Untuk beli buku akhirnya dipending dulu hingga dapat subsidi lagi. Benarkah ini gejala komsumerisme? I don’t know, tapi yang pasti ketika saya punya duit terus jalan ke toko buku dan pusat perbelanjaan lainnya, saya tak sungkan-sungkan merogoh kocekku. Saya merasa puas setelah menimang-nimang barang yang saya beli. Bagaimana saya menjadi orang kaya jika tidak cerdas financial.

Pagi ini kubuka dengan rinai hujan. Langit tiba-tiba kelabu. Tak kulihat sinar matahari yang biasanya menerobos masuk dari balik ranting-ranting pohon. Saya masih terus menunggu. Kuhidupkan komputer, lalu saya menulis tentangku di musim penghujan ini. Tapi iya, saya bari ingat akan menemani nenk yang ingin liputan, tapi bagaimana langit makin mendung dan hujan tak kunjung berhenti. Gelisah. kubaca Koran pagi ini yang isinya hanya soal aksi demontrasi di Jawa Timur. Mereka ingin minta upahnya dinaikkan. Entahlah begitu banyak malapetaka yang menimpa bangsa ini. Banyak yang mengatakan bahwa ini ujian, laknat, dan banyak asumsi lainnya.

Benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Sudah dua kali sms dari Nenk, bahkan dia menelpon menanyaiku di mana. Tapi saya sendiri belum beranjak dari rumahku, saya menunggu hujan reda. Benar hujan baru setelah jam satu siang. Saya pun lantas berangkat ke Pondok Cabe, simpan uang di Bank BCA. Payah saya harus berdiri datu jam-an. Saya sih tidak sampai dua menit. Tapi sebelumku sampai ada yang lebih sepuluh menit bahkan lebih. Mereka rata-rata setor uang se plastik dan setas. Kasihan di belakangku, ada sekitar sepuluh orang lagi yang mengantri. Betul hari saya dapat uang duaratus ribu hasil jerih payah tik naskah Horison. Lumayan buat jajan.

Hanya saja, uang tersebut bakalan habis sebelum Januari berakhir. Seperti ynag saya katakan, saya harus cerdas finansial. Dapat uang bukan untuk dihabiskan tapi diinvestasikan untuk hal menguntungkan di masa yang akan datang. Apa ya?

21 Januari 2006, pagi hari

Hidupku resah. Transkip kaset untuk dapat duit. Belum ada pengembangan yang wawasan pribadi. Sungguh menyesakkan. Saya belum melsayakan apa-apa pada obsesi, mimpi dan keinginan yang saya bangun. Saya ingin menjadi gila. Gila pada mimpi dan dan obsesiku.

23 Januari 2006, dini hari

Jalanan malam ini basah. Langit kelam. Sesekali kilat membelah malam yang pekat. Tampak beberapa orang berjalan di jalan dengan berpayung. Air depan ruko menggenang. Mobil memanjang berjejer. Mereka lebih senang berdiam dalam rumah.

Begitulah hari ini, senin di bulan Januari.“Warung” base camp yang juga secretariat
teman-teman mengembangkan proyek-proyek berdenyut. Tv 14 inch menyala di atas sebuah almari kaca. Isinya beberapa helai pakaian dan sarung, juga alat tulis lainnya. Dua komputer dan satu laptop menganga.

Malam itu saya menunggu hujan reda. Namun hari adalah hari berbahagia. Pertama karena telah membantu seorang ibu. Dia terlambat ke tempat kerjanya. Dia cukup bahagia, tersenyum dengan simpul doa. Mudah-mudahan segalanya lebih mudah. Bukan berarti dewi fortuna terus memayungi perjalananku. Tapi saya terus mengantuk. Kapan waktu saya tertidur.

24 Januari 2005, 22: 15 wib

Jalanan malam ini tidak jauh berbeda dengan malam kemarin, basah. Hujan sejak siang tak berhenti menyirami bumi. Memberi kehidupan kepada makhluknya. Turunnya hujan tidak hanya membawa rahmat, tetapi, di sisi lain ia membawa sengsara.

Jakarta, tiap kali hujan datang selalu kebanjiran, jalanan macet, dan penyakit datang. Ya, malam itu saya terus melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Entah berapa kali orang-orang memakiku karena main serobot. Saya terus saja melaju di jalan yang kulihat samar. Rinai hujan menghalangiku pandanganku.

Hujan, saya kadang ingin bermain di antara desingan suaramu yang menghantam kulitku.

Di bulan Januari, hujan selalu datang di akhir hari menjelang malam. Biasanya ia baru berhenti ketika kokok ayam beterbangan di udara. Saya selalu mafhum dengan waktunya. Bahkan saya sudah mulai bisa ambil ancang-ancang kapan harus jalan dengan motor atau diam menanti hujan turun.

Pagi tadi, ketika kelopak mata saya baru terbuka ada perasaan berat yang hinggap di dada saya. Saya seperti terbebani sebuah beban berat. Saya sudah bangun ketika suara pagar dibuka ibuku yang akan berangkat ke masjid. Tapi saya tahu, masih terlalu pagi. Saya pun melanjutkan tidur.

Mungkin ini kebiasaan jelek, atau suatu hal yang normal saja. Saya terhenti sebentar untuk menjelaskan apakah yang saya lakukan sebagai kebiasaan jelek, atau bukan. Ya beban yang terasa berat itu karena saya harus meliput acara di rektorat terkait dengan diskusi draft integrarasi keilmuan UIN Jakarta.

Saya pun harus mengejar waktu ini, mengejar kejenuhan menjadi kebahagiaan. Saya harus belajar mengambil yang positif walaupun tidak pernah saya suka. Hadir dalam diskusi beberapa dekan, guru besar, dan pakar-pakar pendidikan. Saya sedikit bangga mendengar mereka mengemukakan ide dan gagasannya.Saya duduk dalam sebuah ruangan yang dikenal dengan Ruang Sidang Utama. Sebuah ruangan eklusif untuk pertemuan orang-orang penting.

Dindingnya terpajang rector-rektor dari awal hingga kini. Sebuah proyektor di pojok ruangan. Sebelum masuk agak tidak suka dengan birokrasinya. kenapa saya harus dibedakan dengan lainnya? Apakah saya tidak ada tampang orang pintar dan penting. Dasar, sumpret, tai. Ini buah bagaimana birokrasi yang ketat. Akhirnya tidak ada penghargaan bagi kemanusiaan. Tiap orang dilihat tidak sebagai manusia, namun birokrat yang rigid. Saya hanya butuh setengah jam untuk menulis laporan beritanya.

Eti dan Aniq, dua perempuan dengan karakter berbeda, saya kira menemaniku. Tidak, dua perempuan ini menyimpan kronik yang fantastis. Aniq dengan gayanya yang ceplas-ceplos menghantam siapa saya tidak dia senangi. Eti diam tapi sekali menggigit akan langsung membunuh. Di kantor ia punya peran besar.

27 Januari 2005, 20:45 wib

Hari ini saya ke kampus dengan tidak mengendarai motor. Motorku harus menginap di AHASS bengkel. Benar saja, pengeluaranku hari ini membengkak. Hampir seratus ribu hilang begitu saja. Tapi di sisi lain itu apa yang saya alami mampu menutupi itu semua. Mulai sukses wawancara dengan MK Tajuddin, ketemu dengan Eva di kampus, juga saya bisa hunting dengan teman di bandung. Tiba-tiba saja ia muncul di hadapanku. Saya belum tahu seperti apa sosoknya?

Garis kehidupan ini bercabang-cabang. Saya baru saja mengalami itu. Segala kemungkinan bisa terjadi. Benar kata Paulo Coelho bahwa masa depan tidak bisa diprediksi. So, kita hadapi saja apa yang terjadi sekarang. Tetapi pertanda itu selalu ada. Hanya saja kita juga tidak bisa menebak dari setiap rentetan peristiwa yang terjadi di sekitar kita.

Setelah wawancara dengan Prof Tajuddin, saya tidak jadi ikut diskusi PBB. Lalu pergi ke kos Wasik. Yang bersangkutan tidak ada di tempat. Kembali ke kampus, tepatnya ingin ke kantor Online, malah ketemu Desi. Kemudian bersama-sama ke FDK. Eh di tengah perjalanan bertemu dengan Syarifah or Eva. Kami pun ngobrol ngalar-ngidul sampai lidah kelu. Kami akhirnya balik, ketemu Adi. Dia malah pinjam duit.

29 Januari 2005, 16:04

Minggu dengan wajahnya yang mendung datang. Gerimis kadang turun, kadang pergi. Saya hanya menanti pesan masuk ke telepon genggamku. Sebuah kata dari teman yang tidak kutahu seperti wujudnya. Tapi saya tiba-tiba bersimpati kepadanya. Karena kepolosan, ketulusan, dan kejujurannya. Yeni begitulah dia ingin dipanggil, walaupun dia biasa dipanggil juga dengan Marti. Entah apa bedanya. Marti khusus di kalangan tampatnya tinggal sekarang. Di sebuah rumah tempat mengabdi sebagai Babby sitter. Yani katanya panggilan di kalangan teman-temannya, baik cowok maupun cewek. Begitu lancarnya mulutnya bicara dalam bahasa sms bahwa dirinya seorang babby sitter dan sudah bertunangan. Dia tidak ingin berbohong lagi tentang dirinya.

Entahlah, ketika sms-ku dia tiba-tiba mengatakan itu. Saya takut dengan harga sebuah kejujuran. Malam kemarin dia juga bercerita panjang soal dirinya. Bahkan dia sempat menyudutkanku dengan pernyataan maafnya karena telah banyak bercerita soal pribadinya. Dan saya mana ceritanya? Yah, saya hargai kejujurannya dengan menceritakan saya dan keluargsaya, saya dan temanku.

Tapi tidak ada yang mendekam jauh di dalam dada, karena saya bisa cepat melupakan masalah dengan menenggelamkan pada hal lain. Saya tunggu sms darinya? Benar saja, sebuah pesan tiba-tiba masuk. Hanya pernyataan maaf karena semalam terlalu capek hingga ketiduran.

Minggu telah menghantarkanku pada alunan lagu yang indah. Buku Anna Karenina karya Leo Toltoyy habis kubaca. Kisah tragis seorang perempuan akibat cinta. Cintanya pada Vronsky mendamparkan dirinya pada penderitaan yang besar dari sebelumnya. Suaminya Karenin yang dingin tak mampu memberikan kehangatan sebuah cinta. Dan cinta yang hanya Anna dapatkan dari Vronsky, tentara dengan wajah tampan dan penuh simpatik.

Tapi akhirnya, cinta mereka yang terlarang mengantarkan pada situasi yang sangat sulit. Anna berpisah dengan anak hasil dengan Karenin, Seriosha. Hadir Ani hasil hubungannya dengan Vronsky. Namun hal tidak bisa mengobati rasa keteransingan dengan putra pertamanya. Sampai akhirnya, karena keterasingannya antara suami barunya dan anaknya, Anna memutuskan bunuh diri.

Terlalu panjang Minggu berjalan. Menjelang siang saya sengaja menyetel lagu Laskar Cinta, Dewa 19 yang baru-baru ini meluncurkan album barunya, Republik Cinta. Makan soto buatan Ibu, lalu melanjutkan dengan sedikit fitness. Saya merasa hari ini begitu lambat jalannya.

Gerimis yang dari semalam turun mulai reda. Saya mulai bisa menatap matahari. tapi saya merasakan hampa dalam jiwa saya. Siang selesai mandi, saya baca majalah Tempo lama. Pak Aziz datang bersama orang Enyak yang tidak saya kenali. Saya kembali menceburkan diri dengan bacaan majalah. Mata saya mulai mengantuk. Maroon masih mengalun rendah di telinga saya. Lamat-lamat suara dari ruang tamu mulai hilang. Saya terlelap.

Ingat Pak Aziz jadi ingat Eva. Dara Depok ini baru menancapkan statusnya sebagai mahasiswa UIN Jakarta tempat saya dibesarkan. Saya belum banyak bicara dengannya, tapi sedikit kuamati dia cukup energik. Satu semester yang dia lalui mulai membawa perubahan dalam dirinya. Mahasiswa sebagai pioneer perubahan harus kritis dan cerdas merespon persoalan di sekitarnya. Eva yang bernama Syarifah tidak terlalu cantik. Hanya dia memiliki nuansa oriental di wajahnya. Kulitnya yang putih, matanya yang sipit menyampaikan kesan itu. hanya saja saya tidak terlalu tertarik untuk mengharapkan lebih.

30 Januari 2006, 08:00 wib

Selamat pagi teman, kawan, rekan, sahabat dan semua. Saya berpikir bahwa saya harus lebih dari kemarin. Kualitas hidupku, pekerjaanku, utamanya lagi saya harus berbuat dalam tindakan nyata. Bagaimana yang saya miliki bisa berkembang terus tanpa kejumudan. Kenapa saya senantiasa berhenti pada satu titik dan tidak lagi beranjak pada realisasi. Susah jika saya masih seperti ini.

Maka ketika saya nyatakan saya harus lebih baik dari hari kemarin, maka saya bingung apa yang harus saya perbaiki. Selama ini saya tidak memiliki agenda yang bisa dievaluasi, dikritisi, dan diperbaiki untuk ke depan. Saya berjalan seperti adanya, tanpa membuat rencana. Coba kita lihat, Minggu hanya di rumah. Nonton TV, baca buku, fitness, seperti biasa menulis catatan harian berupa unek-unek pribadi. Kualitas apa yang harus lebih baik dari kemarin, apa saya harus membaca lebih banyak buku dan lebih banyak menulis catatan harian.

Dua hari lagi, umat islam akan mengganti kalender barunya. Dua hari lagi merupakan tahun baru islam. Jika kemarin di seluruh kota dihiasi dengan warna merah menyala, mungkin di berbagai tempat akan terdengar ceramah, suara beduk, rebana dan nuansa islam lainnya. Benyak berharap tahun baru hijrah betul-betul menjadi momentum yang mampu menggetarkan nilai keberislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan. Apalagi tahun baru islam seiring dengan tahun baru imlek. Kejayaan negeri china dapat bersinergi dengan bangkitnya kejayaan islam pula.

02 Januari 2006, 22;00

saya masih terdiam ketika suara itu terus memanggilku. Saya tahu ini hanyalah main-main saja. Tidak ada yang serius.

05 Januari 2006,

Siapa yang tak pernah hatinya resah? Pasti semua orang merasakannya dengan berbagai alasan, bukan. Resah biasanya melanda hati kita saat sesuatu yang kita inginkan tidak tercapai. Bisa juga harapan, impian dan perasaan kita pada seseorang tidak mendapat respon yang positif. Hal itulah yang lantas ketidaktenangan melanda hati kita. Lambat laun kemudian resah.Peristiwa seperti ini cukup manusiawi. Keadaan yang melekat dan hidup pada tiap diri. Malahan, jika tak pernah ada rasa itu, bisa dibilang ada yang janggal dalam kehidupan kita.

Kenapa bicara soal resah ya? Hari minggu ini, ketika buliran embun menyelimuti pekaranganku, saya merasakan sepi di hatiku. Sepi yang lalu menimbulkan keresahan. Di Minggu ini saya berharap ada jawaban dari pesan singkat yang kukirimkan semalam. Entah penolakan atau penerimaan. Bahkan hingga sore ini, masih kunanti jawab itu. Ya ini soal perempuanku. Bukan kekasih hanya teman belaka. Kebetulan saya mengajaknya ketemu.

16 Februari 2006

Ingin kembali saya menjadi manusia yang menulis. Membeberkan beragam persoalan dari perspektif yang berbeda. Hari ini saya menjatuhkan diriku dalam kawah percobaan. Entah, tapi saya hanya ingin menyatakan hidup ini menyimpan misteri. Baru saja Dyta dan Icha balik ke Malang. Saya hanya ingin mengenalnya dari sudut yang berbeda dari orang lain memikirkannya.

Pernah nonton Snow Hall? Ya saya harus melihat inner beuty tiap orang.

12 Maret 2006



Hujan mengguyur bumi. Geledek sambit menyambit di langit. Ah, minggu sore di bulan Maret mengharukan hatiku. Saya merindukan kehidupan yang terjadi pada film Sassimy Gilrs, Shun Chun Yank. Entah, ceritanya begitu menyentuh, mengena dengan romantika yang terjadi. Cinta dan penderitaan suatu saat saling berkait, saling menhantam. Dari penderitaan tumbuh kebahagiaan dan tawa. Chun Yang berhasil melaluinya dengan amat menyentuh. Ah, payah kamu ini hanya menghayal kan! Mungkin, tapi ada sisi lain yang terkadang itu menjadi harapan. Bukan rentetan ceritanya yang berliku, namun akhir yang indah tersebut.

27 Maret 2006, 21:35 Diri yang Kalkulatif

Menata hidup seperti kita bermain puzzle. Menaruh mana yang sesuai dan cocok dengan cetaknya. Sebagaimana puzzle, begitu pula hidup kita. Kita selalu dituntut untuk menjadi diri yang kalkulatif. Langkah hidup kita tidak hanya sekedar melangkah, namun selalu memperhitungkannya. Mana yang bisa kita kerjakan sebagai prioritas, mana yang yang sekunder. Begitulah kita hidup selalu memilih dan memilah.

Jika AA Gym menyebut sebagai manajemen kalbu, maka ini manajemen hidup. Ada planning jangka pendek dan jangka panjang.Terkadang diri kita menjadi seorang yang reaktif terhadap lingkungan sekitar. Tiba-tiba saja kita ingin itu dan itu karena sekedar ada penawaran. Kemudian tanpa piker panjang kita merespon tanpa melalui tindakan kalkulatif diri. Apalagi hal tersebut hanya didasari atas coba-coba. “Saya hanya cari pengalaman.”

Selfi, ya Selfi seperti nama-nama perempuan lainnya. Malam itu ia datang sebagai teman dari teman saya, Adi P. Tapi, selalu saja, nama-nama hanya melekat sebentar. Seperti derap angin yang hanya mampir di beranda, kemudian melenggang terbang. Selfi, saya tak sempat bertanya nama panjangnya.

Tapi, malam itu dia memulai dengan sebuah keakraban yang indah.Senyum yang tersimpul jadi pertanda keakraban. Tapi terkadang kita harus memasang diri untuk bersikap awas terhadap sesuatu yang baru, yang baru kita kenal. Tak selamanya yang akrab tanpa misteri. Bahkan, bagi siapapun sesuatu yang baru bisa menarik untuk makin mengenal.Keakraban. Pertanda bahwa sekat pembatas mulai memudar. Tidak ada lagi resonansi yang bisa menghambat sifat komunikatif kita. Keterbukaan dan saling berbagi.

Selfi, sebuah predikat dengan banyak asumsi banal. Mahasiswi pemikiran politik islam ini hanyut dalam sebuah perumpamaan. Tanpa menyeruput teh hangat, bibirnya bicara soal rasa dan kepedulian. Saya tahu, teman saya hanya berkepentingan duduk di hadapannya. Bukan soal mencopi sebuah buku, tapi ingin mencari arti sebuah kedekatan dan keakraban. Acap kali kita memulai pertama dengan sebuah pandangan. Kepada Selfi, entah apa yang terdetik saat saya bertemu dengannya. Namun saya ingin mengingatnya sekedar sebuah nama indah. Yang sebentar lagi akan lekang dengan waktu. Dengan menyebut namanya, Selfi, seperti saya mengenal diri saya sendiri.

Saya seruput es teh. Dinginnya menjalar setelah akhirnya saya harus berpamit pulang. Malam makin kelam. Di langit bintang terus menguntit.

29 Maret 2006, 19:35 wib

Sore itu, di tengah gemilang matahari di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta melangsungkan sebuah pesta demokrasi meski tidak ramai, pemilihan dekan. Hasilnya, Abdul Chair berhasil meraup suara telah. Seperti balap sepeda, dia telah lama finish. Sedang rivalnya hanya berdiri di garis start. Bayangkan, ketika yang hanya memperoleh dua suara, Chair telah mengunmpulkan 55 suara. Chair pun menang. Dia adalah dekan terpilih FAH periode 2006-2010. Selamat!Lantas apa setelah menang? Adakah pesta digelar untuk merayakannya.

“Syukur itu penting, bukan karena menang, tapi hanya bersyukur,” katanya.

Kemenangan dengan sepikul beban amanat untuk menyinarkan ke-adab-an, tidak hanya di UIN Jakarta, nasional bahkan internasional. Chair tersenyum ketika tahu dirinya mendulang kemenangan itu. Kita hanya bisa menebak, mungkin gembira, mungkin duka cita, karena dia maju bukan berangkat dari itikad baik. Chair maju karena proses kaderisasi sebagai kader umat dan bangsa.

30 Maret 2006, 20:55 wib Manusia yang Rekreatif

Kita, manusia yang rekreatif, bukan! Kita selalu ingin memiliki waktu jeda untuk rehat. Untuk berhenti dari rutinitas. Saat hari yang rekreatif tiba, maka kita selalu akan menyambutnya dengan gembira. Seperti pada Kamis di akhir Maret, sebuah rekreasi ke Kebun Binatang, Monomen Nasional dan Masjid Istiqlal dilakukan.

Kurang lebih 20 orang yang ambil bagian dalam vakansi ini. Saat hari mulai menapak panasnya di bumi, mobil APV melaju di sebuah jalan raya. Angin berhembus kencang mengejar waktu yang makin siang. Yang tertuju sebuah kebun binatang Ragunan. Entah apa yang terdetik di pikiran kita ketika rekreatif tersebut terbuka. Keramaian ada. Tangisan menggema disertai peluh yang asin. Panas tak mengenakkan, tapi rekreatif harus terpuaskan.

31 Maret 2006,15:15 wib

Cuti ini bukan ikut-ikutan Hari Cuti Nasional yang ditetapkan pemerintah. Tetapi karena terlambat bangun. Akhirnya ikut cuti bersama dengan tidak masuk sekolah. Masalahnya bukan ikut-ikutan cuti, tapi bagaimana kita mengartikan bersekolah.

Olis, sebuah nama dengan tergesa dan hati ngedumel turun di sebuah tangga yang curam. Saat itu matahari terpejam sehingga sinarnya tak menampak. Sedangkan jam di dinding menunjuk pukul 06.30. Ia ingin segera sekolah, tapi waktu mengajaknya kompromi untuk tidak masuk dulu. Karena percuma jika harus berangkat, terlambat dan pulang. Olis lantas marah dan mangkel.

Entah kepada siapa ia marah. Pada Mamanya yang tidak membangunkan – padahal ia telah kelas II SMA, waktu yang sengaja melenakan, atau mengutuk dirinya sendiri, kenapa tidak dinyalakan weker? Sudah. Tapi ia tidak bangun. Dadanya sesak. Ia berlari menaiki tangga, pergi ke kamar dan menumpahkan kekesalannya dengan menangis.

Dulu, saya pernah mengalami seperti yang dialami Olis. Keras hati untuk masuk sekolah meski terlamat, hujam lebat dan sakit. Olis mungkin akan dipuji karena ia tampak rajin. Baik oleh guru dan teman-temannya. Akhirnya, ketika ia ketahuan tidak masuk kelas karena terlambat, mungkin Olis akan menutup mata, malu. Hal ini sama seperti yang saya alami. Saya selalu dibilang rajin karena tidak pernah absen dalam proses belajar di kelas.

Bagaimana jika kasus Olis ketahuan Paulo Freire, tokoh pendidikan liberal Prancis. Mungkin ia akan geleng-geleng kepala, ketundukan Olis untuk terus masuk sekolah bukanlah buah dari pendidikan. Tapi dari sebuah hegemoni cultural. Jika itu yang terjadi, sekolah berarti gagal memberikan sebuah arti pendidikan pada Olis. Lumrah jika Freire mengarang sebuah Deschooling karena sekolah tidak lagi menjadi berkecambahnya makna pendidikan itu sendiri.

Siawa harus memahami arti penting hidup ini. nilai-nilai humanis tumbuh tanpa ada pemaksaan dari luar dirinya. Jika yang kita lihat sikap represif sekolah dalam bentuk siksa mental pada sang muris, mending tersebut dibubarkan.Kita tahu segala sesuatu dari mana? Karena kita membaca. Apa peran guru di sekolah? Mereka hanya menjadi katalisator terjadinya tranfer ilmu. Kita tahu segala buka karena guru dan sekolah. Semua itu hanya media. Sekolah, untuk mengukur tingkat kedisiplinan siswanya menggunakan berbagai aturan ketat. Ada sebuah rangking. Entah, apakah bentuk kedisiplinan tersebut adalah sebentuk dari pendidikan pula?

Tidak ada komentar: